London (ANTARA News) - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Hendar mengakui Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang cukup berat namun berbagai kebijakan telah dilakukan.

Hal itu diungkapkan Deputi BI pada acara pelantik kepala Perwakilan BI untuk Eropa dan Afrika yang berkedudukan di London Endy Dwi Tjahjono, mengantikan Rizal A Djaafara di ruang Crutacala KBRI London, Selasa.

Pelantikan mantan Direktur Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Endy Dwi Tjahjono sebagai kepala perwakilan BI di London di saksikan Dutabesar RI untuk Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia dan Ny Lastry Hamzah Thayeb dan DCM KBRI London, Anita Luhulima.

Dalam acara serahterima itu juga hadir perwakilan perbankan Indonesia dan perwakilan lembaga lainnya di Inggris dan tokoh masyarakat Indonesia dan mitra kerja Bank Indonesia di London dan sekitarnya,

Lebih lanjut Deputi BI mengatakan di bidang moneter, BI tetap mempertahankan kebijakan moneter bias ketat untuk menjaga market confidence dan menekan defisit transaksi berjalan.

Guna mendorong pertumbuhan kredit, telah dilakukan relaksasi terhadap ketentuan loan to value serta melakukan penyesuaian ketentuan GWM-LDR dengan memperluas cakupan DPK termasuk obligasi yang diterbitkan oleh bank.

Sementara di bidang operasi moneter, dilakukan stabilisasi nilai tukar melalui intervensi jual dan melakukan pengendalian penggunaan valas untuk transaksi antar penduduk dalam wilayah NKRI.

Dikatakannya beberapa langkah kebijakan tersebut memberikan dampak positif meskipun belum sepenuhnya memenuhi harapan.Tekanan terhadap rupiah masih berlanjut meskipun Bank Indonesia telah cukup banyak melakukan stabilisasi di pasar valas.

Menyadari kompleksnya tantangan yang dihadapi, koordinasi kebijakan antar institusi terkait akan terus diperkuat, termasuk keberadaan kantor-kantor perwakilan RI di luar negeri

Pada langkah awal, yang dibutuhkan adalah confidence dari seluruh elemen bangsa serta menyebarkan persepsi positif bahwa perekonomian Indonesia menuju hal yang lebih baik. Sejarah mencatat kita memiliki pengalaman yang baik dalam reformasi ekonomi.

Lebih lanjut Deputi BI, Hendar mengatakan harapan terhadap peningkatan kinerja kantor perwakilan kami di luar negeri semakin penting di tengah beratnya tantangan yang dihadapi perekonomian Indonesia dewasa ini. Pertama, tantangan terberat adalah pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat.

Dalam dua triwulan terakhir di tahun 2015, perekonomian nasional tumbuh di bawah lima persen, yaitu menurun dari 4,71persen pada triwulan I-2015 menjadi 4,67 persen pada triwulan II-2015.

Perlambatan ini terutama bersumber dari menurunnya kinerja ekspor akibat berlanjutnya penurunan harga komoditas primer utama seperti batubara, CPO, dan minyak bumi.

Bahkan di beberapa provinsi yang perekonomiannya tergantung komoditas seperti Kalimantan Timur, Aceh,dan Riau mengalami pertumbuhan negatif selama dua triwulan berturut-turut. Selain itu, rendahnya penyerapan fiskal pemerintah baik pusat maupun daerah juga menjadi sumber perlambatan dari sisi pengeluaran.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut kemudian berdampak sektor keuangan. Di sisi perbankan, perlambatan pertumbuhan diikuti dengan pertumbuhan kredit yang menurun disertai dengan kecenderungan Non Performing Loan yang terus meningkat, terutama di sektor pertambangan dan konstruksi.

Sementara itu, di tengah ketidakpastian di pasar keuangan global, perlambatan pertumbuhan ekonomi juga memicu jatuhnya indeks harga saham dari 5500 pada April 2015 menjadi kisaran 4100 pada awal minggu ini.Kekhawatiran atas perlambatan ekonomi Tiongkok semakin meningkatkan tekanan terhadap pasar modal, ujarnya.

Sejauh ini, menurut Deputi BI, implikasi perlambatan pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat masih belum signifikan. Namun di beberapa daerah penghasil utama batubara, kelapa sawit,dan karet dampaknya mulai dirasakan. Para pengusaha atau petani tidak lagi bergairah dalam mengelola kegiatan usaha pada komoditas tersebut.

Tantangan kedua adalah pelemahan nilai tukar rupiah. Ketidakpastian kenaikan suku bunga The Fed, yang diawali Mei 2013, terus menjadi pemicu utama ketidakstabilan nilai tukar rupiah, ujarnya.

Tekanan ini semakin berat ketika pasar meyakini beberapa faktor fundamental ekonomi Amerika Serikat mendukung The Fed untuk memulai normalisasi suku bunga kebijakannya. Namun, hingga kini kenaikan suku bunga tidak kunjung tiba, sementara dampaknya dirasakan semakin berat.

Bahkan, ketidakpastian ini diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan kebijakan Bank Sentral Tiongkok melakukan depresiasi mata uangnya 11 Agustus yang lalu. Dampak kebijakan Bank Sentral Tiongkok tersebut perlu diwaspadai mengingat tidak hanya berakibat pada nilai tukar rupiah namun juga kemungkinan naiknya impor dari Tiongkok di tengah kinerja ekspor yang masih terpuruk.

Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015