Surabaya (ANTARA) - Musibah yang menimpa Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, berupa runtuhnya mushalla pesantren putra, saat Shalat Asar berjamaah pada Senin (29/9), memiliki gaung besar, termasuk di ruang digital.
Hal itu dapat dipahami dari sisi peristiwa yang membawa korban jiwa maupun dari sisi historis, mengingat Ponpes Al Khoziny merupakan pesantren tua yang didirikan KH Khozin (menantu pengasuh Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, KH Chamdani) pada 1920, atau jauh sebelum negeri ini merdeka.
Apalagi, sejumlah muassis atau pendiri NU, seperti KHM Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Chasbullah adalah santri Pesantren Siwalan Panji yang lokasinya bertetangga dengan Al Khoziny itu. Karena itu, alumni Ponpes Al Khoziny tidak hanya ada Jatim, tapi juga menyebar hingga NTB, Kalimantan, dan bahkan Malaysia.
Tidak hanya itu, era digital, saat ini, juga menyoroti dari sisi-sisi sangat teknis dan diviralkan, hingga lintas negara lewat internet. Pakar kebijakan teknologi AS, Alec Ross, menyebut internet adalah kekuatan paling disruptif untuk sebuah negara bangsa berdaulat.
Selain itu, Ponpes Al Khoziny yang saat ini memiliki 1.200-an santri itu tentu memiliki gaung yang besar bila ada peristiwa, apalagi tim Basarnas melaporkan hingga Sabtu (4/10) pagi mencapai 14 korban meninggal dunia dalam musibah itu dan ada 51-an korban lain masih dalam pencarian, namun 100-an lebih korban selamat dan dalam perawatan di rumah sakit.
Menyikapi peristiwa itu, para warganet yang aktif menggunakan teknologi digital justru menyoroti dari sisi teknis semata, meski musibah yang terjadi, sejatinya memiliki sisi kemanusiaan yang sangat besar.
Dari sisi teknis, sorotan yang muncul adalah mencari kesalahan secara teknis dan akhirnya mengarahkan pada pihak pesantren yang dinilai tidak bertanggung jawab atau dalam bahasa teknis hukum adalah kelalaian. Tidak ada kepedulian pada korban sama sekali, karena hanya satu poin yang viral, yakni siapa yang salah?
Kesalahan dari sisi teknis, antara lain terkait lambannya alat berat (crane) menangani reruntuhan bangunan, eksploitasi santri dalam pembangunan, eksploitasi bantuan, struktur bangunan yang tidak memiliki pertimbangan teknis untuk keamanan/keselamatan, izin mendirikan bangunan (IMB), dan kesalahan lainnya, termasuk menyalahkan istilah "takdir" dari pengasuh.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.