Jakarta (ANTARA) - Ajang Jakarta World Cinema (JWC) 2025, sebuah perhelatan tahunan untuk merayakan keberagaman sinema dari berbagai penjuru dunia, kembali digelar di CGV Mal Grand Indonesia, Jakarta.

Festival film ini berlangsung secara daring (online) maupun luring (offline) dari 4 September hingga 4 Oktober 2025. Salah satu film yang berhasil mencuri perhatian penonton di JWC adalah "The Botanist", filmcoming-of-age buatan China.

Ditayangkan selama dua hari pada Sabtu (27/9) dan Minggu (28/9), film ini menghadirkan pengalaman sinematik yang tidak hanya memukau secara visual, tetapi juga menyentuh secara emosional. Keistimewaan pemutarannya di JWC semakin terasa dengan hadirnya sang sutradara, Jing Yi, dalam sesi tanya jawab bersama para penonton.

Film "The Botanist" membawa penonton ke lanskap alam sebuah lembah terpencil di perbatasan utara Xinjiang, tepatnya di titik temu wilayah China dan Kazakhstan.

Film berbahasa Mandarin dan Kazakh ini mengisahkan tentang Arsin, seorang anak laki-laki etnis Kazakh yang tinggal bersama nenek dan kakaknya di komunitas yang terisolasi, nyaris tak tersentuh modernitas.

Arsin memiliki minat besar terhadap tanaman dan kehidupan liar yang ada di sekitarnya. Setiap hari, Arsin menghabiskan waktu dengan mengumpulkan sampel tumbuhan, mencatat bentuk dan tekstur daunnya, serta merekatkannya di buku dan membayangkan tiap tanaman sebagai makhluk hidup yang penuh cerita. Dunia botani menjadi pelipur hati sekaligus observatorium kecil bagi Arsin di tengah kesunyian.

Dunia Arsin yang penuh rasa ingin tahu mulai berubah saat dia bertemu Meiyu, seorang gadis etnis Han yang ceria dan penuh semangat dari desa tetangga. Persahabatan ini membangkitkan keajaiban baru dalam hati Arsin, membuka cara pandang baru baginya terhadap lingkungan maupun dirinya sendiri. Kisah ini dibalut dalam nuansa seperti dongeng lama, di mana realitas dan mimpi saling berbaur, menghadirkan suasana magis dan puitis yang jarang ditemukan dalam filmcoming-of-age.

Dalam sesi tanya jawab yang berlangsung hangat dan penuh cerita, sutradara Jing Yi menyampaikan rasa bahagia atas penayangan filmnya di ajang JWC. (Xinhua)

Dalam sesi tanya jawab yang berlangsung hangat dan penuh cerita, sutradara Jing Yi menyampaikan rasa bahagia atas penayangan filmnya di ajang JWC. Dia merasa tersentuh melihat sambutan hangat dari para penonton di Jakarta, yang menurutnya amat berarti.

Jing Yi membingkai kisah ini dalam nuansa magis-realis yang halus. Dia tidak mencoba membuat drama yang kompleks, melainkan fokus pada hal-hal kecil yang penuh makna. Uniknya, film ini juga melibatkan para nonaktor dan menggunakan lokasi asli di daerah Xinjiang, sehingga suasananya terasa sangat nyata dan dekat.

"Inspirasi untuk film ini datang dari pengalaman saya sendiri saat tumbuh besar di Xinjiang, di mana komunitas Kazakh dan Han hidup berdampingan, dan saya ingin menunjukkannya kepada dunia," ujar Jing Yi ketika salah satu penonton bertanya dari mana ide cerita "The Botanist" berasal.

Dia mengungkapkan bahwa "The Botanist" bukan hanya kisah tentang seorang anak dan alam sekitarnya, tetapi juga tentang koneksi serta pertukaran budaya dan bahasa yang bermakna antara dua etnis yang berbeda. Persahabatan Arsin dan Meiyu mencerminkan jembatan kultural yang terbangun secara alami, melalui bahasa, tradisi, dan cara mereka memahami dunia yang mereka huni bersama.

Saat ditanya tentang tantangan dalam proses pembuatan film itu, Jing Yi mengaku bahwa salah satu kesulitannya adalah membenamkan diri saat memotret dua karakter utama tersebut secara mendalam. Tantangan lain muncul saat pengambilan gambar lanskap, karena lokasi syuting berada di kampung halamannya sendiri, di mana masyarakat hidup dengan ritme yang lambat (slow life). Oleh karena itu, proses produksi harus disesuaikan dengan kondisi tersebut agar hasilnya tetap natural dan autentik.

Jing Yi, dalam sesi tanya jawab bersama para penonton. (Xinhua)



Melalui "The Botanist", Jing Yi menghadirkan sebuah film yang indah secara visual sekaligus mengajak penonton untuk merenungkan cara menjalani hidup.

Film ini mengingatkan bahwa alam, budaya, dan hubungan antarmanusia merupakan bagian penting dari cerita kehidupan. Di tengah dunia modern yang kadang terasa sesak dan gaduh, "The Botanist" mengajak kita untuk berhenti sejenak, mengambil waktu untuk memperhatikan alam dan saling mendengarkan.

Jing Yi (31), sutradara film muda asal Daerah Otonom Uighur Xinjiang, China barat laut, merupakan lulusan Beijing Film Academy. Sebelum menyelesaikan "The Botanist" sebagai debut film panjangnya, dia pernah menggarap beberapa film pendek yang berhasil menempatkannya sebagai salah satu nama baru yang patut diperhatikan di dunia perfilman Asia. Bahkan saat masih dalam tahap pengembangan, "The Botanist" telah meraih penghargaan New Horse Award di ajang Asian Project Market 2023. Film ini kemudian memulai debutnya secara resmi di ajang Berlin International Film Festival 2025 dan berhasil membawa pulang Crystal Bear untuk kategori Generation Kplus Best Film, sebuah pencapaian gemilang untuk karya debutnya.

Pewarta: Xinhua
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.