Prinsip affirmative inclusion perlu diterapkan agar magang benar-benar menjadi alat pemerataan kesempatan, bukan reproduksi ketimpangan baru

Jakarta (ANTARA) - Baru-baru ini, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan membuka Program Magang Nasional 2025 bagi para lulusan baru perguruan tinggi. Program ini dirancang sebagai jembatan antara dunia pendidikan dan dunia kerja, dengan durasi enam bulan dan dukungan kerja sama dari ratusan perusahaan swasta maupun BUMN.

Peserta yang lolos akan menerima uang saku setara upah minimum serta jaminan sosial selama masa magang.

Bagi banyak fresh graduate, pengumuman ini sejatinya hadir seperti kabar baik yang lama ditunggu. Di tengah situasi ketenagakerjaan yang belum sepenuhnya pulih, dan ketika angka pengangguran terdidik masih tinggi, kesempatan magang terasa seperti oase di tengah gurun kerja. Ada harapan untuk kembali menata langkah, mengasah keterampilan, dan menemukan arah karier yang lebih pasti.

Program ini juga menjadi bukti bahwa negara berupaya hadir dalam proses transisi generasi muda dari ruang kuliah ke ruang produksi. Melalui kemitraan dengan dunia usaha dan industri, pemerintah berusaha memastikan bahwa pengalaman kerja pertama para lulusan baru tidak berhenti di ruang kelas, melainkan berlanjut pada praktik nyata di lapangan.

Magang semacam ini membuka ruang pembelajaran sosial yang penting. Para peserta bukan hanya mengenal cara kerja industri, tetapi juga memahami budaya profesional, etika kerja, dan tanggung jawab kolektif di lingkungan kerja sesungguhnya. Dalam konteks itu, magang menjadi wadah pembentukan karakter generasi pekerja muda Indonesia.

Akan tetapi, di tengah semangat itu, ada pula kesadaran bahwa tidak semua oase menandakan kesuburan yang abadi. Tantangan pelaksanaan, pengawasan, dan kesetaraan manfaat tetap menunggu untuk dijawab bersama oleh pemerintah, perusahaan, dan dunia pendidikan.

Menjaga oase

Harapan besar yang dibawa oleh Program Magang Kemnaker 2025 tentu patut diapresiasi. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Bourdieu, dunia kerja bukan sekadar ruang ekonomi, melainkan juga “arena sosial” tempat modal budaya dan modal sosial diuji dalam relasi kekuasaan yang kompleks.

Dalam hal ini, magang bisa menjadi arena penting pembentukan habitus profesional, tetapi juga berpotensi melanggengkan ketimpangan jika tidak diatur dengan prinsip keadilan dan kesetaraan.

Program magang hanya akan bermakna bila benar-benar diposisikan sebagai experiential learning — proses pembelajaran melalui pengalaman langsung sebagaimana ditegaskan oleh David Kolb (1984). Menurut Kolb, pengalaman kerja menjadi pendidikan yang utuh bila peserta mampu merefleksikan praktik, mengonseptualisasikannya, lalu menerapkannya kembali dalam tindakan.

Artinya, keberhasilan magang tidak hanya diukur dari lamanya waktu bekerja, melainkan dari sejauh mana peserta mendapat ruang refleksi dan bimbingan profesional yang nyata.

Baca juga: Kemnaker: 451 perusahaan daftar program magang nasional

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.