Surabaya (ANTARA) - Musibah robohnya mushalla di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, menyentak kesadaran publik. Dalam hitungan jam, foto-foto reruntuhan bangunan menyebar di media sosial, disertai komentar yang beragam, mulai dari simpati, hingga caci maki.
Kritik publik pun deras, sebagian bernada konstruktif, sebagian lagi menyeret dunia pondok pesantren (ponpes) ke dalam generalisasi negatif.
Fakta itu bisa dipahami bahwa setiap musibah memerlukan pertanggungjawaban. Aspek teknis pembangunan, izin, hingga pengawasan struktur memang wajib dievaluasi. Namun, dalam hiruk pikuk wacana digital yang serba cepat dan reaktif, kita bisa menahan sejenak jari dan pikiran kita, lalu melihat persoalan ini dari dua sisi. Sebab di balik bangunan yang roboh, termasuk di Pondok Pesantren Al Khoziny, ada juga dunia sosial, nilai, dan tradisi panjang yang jarang tersentuh oleh sorotan publik.
Dalam filsafat politik modern, Charles Taylor, lewat esainya "The Politics of Recognition" menegaskan pentingnya pengakuan terhadap identitas budaya dalam masyarakat majemuk, termasuk di pondok pesantren. Ia menyebut, salah mengenali atau merendahkan identitas suatu komunitas, ternyata dapat melukai martabat kolektif. Kritik yang tidak memahami konteks kultural, sering berubah menjadi bentuk dominasi budaya terselubung.
Dalam konteks Indonesia, Bhikhu Parekh mengingatkan bahwa dialog antarbudaya tidak selalu simetris. Setiap komunitas memiliki horizon nilai dan logika internal.
Karena itu, memahami pondok pesantren atau ponpes tidak cukup hanya dengan ukuran rasionalitas modern karena ada etika adab, penghormatan kepada guru, dan tradisi gotong-royong yang mengakar.
Dengan cara pandang ini, kritik terhadap pondok pesantren mestinya diarahkan bukan untuk menghakimi, melainkan untuk mengoreksi dengan empati.
Filsafat multikulturalisme mengajarkan bahwa setiap tradisi memiliki kebijaksanaan tersendiri. Ia boleh ditinjau secara kritis, tapi tidak boleh dihapus atau dicemooh, begitu saja.
Pondok pesantren adalah dunia yang di dalamnya penuh dengan kompleksitas. Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tetapi juga ruang hidup sosial dengan sistem nilai yang khas.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
Dari kejadian ini mungkin sudah perlu membongkar dugaan praktik eksploitasi dibalik kesederhanaan, dibalik katanya relasi guru dan murid bukan hanya administratif, melainkan spiritual dan emosional agar tidak jadi membutakan juga.
Siapa yg mau bertanggungjawab? gak adakan? makanya harus dicari untuk itu.