Di sana, orang tua dan anak-anak membaca bersama, seolah ingin menegaskan bahwa kebiasaan membaca dimulai dari rumah, dari suara lembut seorang ibu yang membacakan cerita menjelang tidur.

Jakarta (ANTARA) - Pulau Saparua di Maluku Tengah terasa lebih terik pasca-fenomena equinox, saat matahari melintas tepat di sepanjang garis khatulistiwa.

Meski pagi belum lama bergulir, sinar matahari menyelinap tegas melalui kisi jendela kayu yang sudah agak lapuk di sebuah sekolah dasar di pulau itu.

Di balik meja sederhana, seorang guru bernama Frida Soumokil tersenyum melihat murid-muridnya memeluk buku berwarna cerah, membaca dengan suara pelan tapi penuh semangat.

Suara mereka terdengar seperti bisikan laut yang menepuk pantai: berirama, jujur, dan hidup.

Dulu, kata Frida, membaca hanyalah rutinitas. Huruf-huruf di papan tulis dihafalkan tanpa makna. Namun, sejak ruang perpustakaan sekolahnya diubah menjadi tempat yang nyaman, penuh warna dan cerita, anak-anak datang bukan karena disuruh, melainkan karena rindu.

“Sekarang mereka sendiri yang ingin membaca,” katanya dengan mata berbinar.

Dari ruang sederhana di Maluku Tengah itu, seperti mentari yang terik, cahaya kecil literasi Indonesia menyala, dan cahayanya menjalar jauh ke seluruh pelosok negeri.

Selama sepuluh tahun terakhir, organisasi nirlaba Room to Read bersama mitra afiliasinya ProVisi Mandiri Pratama dan berbagai komunitas lokal telah menyalakan nyala itu, nyala yang bukan hanya tentang huruf dan kata, tetapi tentang harapan, kemandirian, dan keberanian bermimpi.

Baca juga: Bunda Literasi Jaksel tingkatkan budaya membaca lewat "Koper Baca"

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.