Jakarta (ANTARA) - Tingginya tingkat kegagalan perusahaan rintisan (startup) ternyata bermuara pada faktor rapuhnya struktural dalam perancangan dan tata kelola, bukan karena lemahnya modal, demikian menurut whitepaper berjudul "The Corporate Venture Valley of Death" yang disusun oleh venture builder Wright Partners.
Laporan yang disusun bersama konsultan inovasi MING Labs lewat program Corporate Venture Launchpad 3.0 (CVL 3.0) yang didukung EDB Singapura, menemukan bahwa masalah serupa juga terjadi pada startup berbasis Venture Capital (VC), mulai dari kekeliruan dalam memetakan permasalahan, tata kelola yang rapuh, serta ketidakcocokan profil pendiri dengan kebutuhan skala dan disiplin eksekusi.
"Corporate venture building memberikan gambaran langsung ke dinamika lapangan yang menjelaskan mengapa banyak perusahaan di Asia Tenggara yang tidak mampu bertahan lama," kata Founding Partner at Wright Partners Ziv Ragowsky dalam keterangan tertulis, Kamis.
"Pada dasarnya, tanpa tata kelola yang kuat, founders yang tepat, dan disiplin eksekusi, kegagalan akan terus berulang," kata Ziv.
Baca juga: Kemkomdigi resmikan Garuda Spark Innovation Hub kedua di Jakarta
Kegagalan struktural
Secara global, sekitar 90 persen startup mengalami kegagalan, termasuk di Asia Tenggara. Namun menurut Wright Partners, penyebab kegagalan startup di kawasan ini bukan hanya sekadar siklus pendanaan atau sentimen investor, melainkan masalah utamanya adalah kegagalan struktural yang menjalar di seluruh ekosistem.
Salah satu isu terbesar adalah tata kelola yang lemah. Dari unicorn yang didukung VC hingga ventura korporat, terlalu banyak startup di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang kolaps akibat skandal, lemahnya pengawasan, dan ketidaktepatan pengelolaan.
Pada saat yang sama, Asia Tenggara menghadapi kesenjangan kualitas pendiri. Dibandingkan Silicon Valley, jumlah founder berpengalaman dan pengusaha “gelombang kedua” (second-time founders) di kawasan Asia Tenggara masih lebih sedikit.
Hal itu menyebabkan banyak perusahaan berada di tangan pemimpin yang minim pengalaman scale-up atau disiplin tata kelola.
Faktor lain yang turut memperparah situasi adalah, banyak startup mengejar ide yang tengah populer, bukan menyelesaikan kebutuhan nyata dan potensi monetisasinya.
Pada saat yang sama, pendanaan ventura pun kerap menyuntik dana ke model bisnis yang masih dalam tahap pematangan, sehingga terbentuk dinamika pertumbuhan yang didorong ekspektasi, namun belum tentu berkelanjutan.
Baca juga: Harapan baru inovasi alat kesehatan Indonesia di ajang global
Di pasar berkembang seperti Indonesia, hambatan struktural, mulai dari rantai pasok yang terpecah hingga ketidakpastian regulasi menjadi faktor yang kerap menyulitkan eksekusi.
"Yang kami lihat di Asia Tenggara bukan semata soal ketersediaan modal, melainkan soal struktur,” ujar Arnold Egg, Founding Partner di Wright Partners.
"Tata kelola yang belum kuat, pendiri yang kurang berpengalaman, serta kecenderungan memprioritaskan tren jangka pendek dibanding membangun ketahanan model bisnis merupakan pola yang berulang di banyak negara, termasuk Indonesia. Tanpa pembenahan hal-hal mendasar tersebut, sebesar apa pun investasi sulit melahirkan bisnis yang berkelanjutan,” kata dia.
Beberapa contoh startup di Indonesia yang mengalami kendala adalah TaniHub (agritech), Investree (fintech), dan eFishery (akuakultur). Mereka sempat tumbuh cepat dengan dukungan investor kuat, namun kinerja mereka tersendat imbas celah tata kelola, ekspansi yang sulit dipertahankan, serta guncangan eksternal.
Peristiwa itu menggambarkan bahwa startup yang didanai besar pun bisa goyah dalam waktu singkat jika fondasinya kurang tangguh, entah karena tata kelola yang lemah, model bisnis yang rentan, atau volatilitas pasar.
Contoh di Singapura menunjukkan bahwa disiplin proses bisa menghasilkan arah yang berbeda.
Dalam program CVL, pendanaan tidak dikucurkan sekaligus, melainkan bertahap dan hanya setelah setiap capaian benar-benar tervalidasi. Mekanisme itu membantu startup menekan risiko bagi korporasi, memperjelas akuntabilitas tim pendiri, dan menumbuhkan ketahanan jangka panjang.
Sejumlah ventura lulusan CVL kemudian memperoleh pendanaan lanjutan dan tumbuh lebih sehat serta dapat memberi acuan yang lebih luas untuk menghindari “valley of death”, fase paling rentan dalam perjalanan awal sebuah startup.
Sebastian Mueller, Founding Partner MING Labs mengatakan "Ketahanan lahir dari struktur, bukan sekadar hype."
"Melalui pendekatan governance-first, pendanaan yang disiplin, dan keselarasan di struktur pendiri, kita bisa memperpendek Valley of Death baik untuk ventura korporat maupun startup VC," tutup Sebastian Mueller.
Baca juga: Startup kripto IDRX raih pendanaan awal Rp4,8 miliar
Baca juga: Kemkomdigi sebut "startup" tingkatkan kontribusi ekonomi digital
Baca juga: Founder tekfin Durianpay resmi menjadi Endeavor Entrepreneur ke-110
Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.