Digitalisasi seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kualitas hidup, bukan pintu masuk menuju jeratan finansial

Jakarta (ANTARA) - Di era serba digital, transaksi keuangan kini hanya segenggaman tangan. Cukup beberapa kali klik pada aplikasi e-commerce atau dompet digital, barang pesanan sudah meluncur menuju rumah.

Promo flash sale tengah malam, potongan ongkos kirim, hingga layanan cicilan Buy Now Pay Later (BNPL) menjadi “pemicu instan” yang mendorong masyarakat, terutama generasi muda yang akrab teknologi, untuk semakin konsumtif. Fenomena ini tidak lagi bisa dipandang sebagai gejala kecil.

Survei lembaga riset konsumen global YouGov pada pertengahan 2025 mencatat, sebanyak 50 persen masyarakat Indonesia mengaku pengeluarannya meningkat dalam setahun terakhir. Risiko sumber pembiayaan yang dipilih pun cenderung bervariatif dari pinjaman konvensional hingga yang digital, dan sering kali tidak disertai perencanaan yang matang.

Kondisi ini menegaskan adanya pergeseran perilaku finansial di mana masyarakat kini semakin terikat pada pola konsumsi digital, mulai dari belanja fesyen, gawai, hingga berlangganan hiburan streaming.

Di balik kenyamanan tersebut, tersimpan risiko serius bagi kesehatan finansial jangka panjang. Pola konsumtif tanpa kendali, membuat masyarakat rawan terjerat utang, khususnya pada generasi muda, terutama ketika mereka kurang memahami konsekuensi keterlambatan pembayaran cicilan.

“Yang penting adalah perencanaan keuangan. Jangan sampai cicilan lebih besar daripada kemampuan bayar. Telat bayar, meski hanya beberapa hari, tetap tercatat dan bisa memengaruhi peluang pengajuan kredit di masa depan,” kata Head of Consumer Business SkorKu, Nora Asteria.

Ia menilai, kebiasaan generasi muda membelanjakan uang pada hal-hal yang bersifat tidak kasat mata, seperti langganan platform digital atau pembelian produk dengan sistem cicilan, bisa berdampak ganda.

Transaksi itu dapat membangun riwayat kredit positif jika dikelola dengan benar. Namun, sebaliknya, kelalaian sekecil apa pun berpotensi menurunkan skor kredit.

“Bank mengenal kita dari riwayat pembayaran, bukan sekadar dari penghasilan. Jadi meskipun gaji besar, kalau catatan kreditnya buruk, akses pinjaman bisa tertutup,” ujarnya.

Tantangan lain datang dari rendahnya pemahaman masyarakat tentang produk keuangan. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan tingkat literasi keuangan nasional masih 65,43 persen, sementara inklusi keuangan baru sekitar 25 persen. Artinya, sebagian besar masyarakat belum sepenuhnya paham cara kerja produk keuangan, mulai dari bunga, biaya provisi, hingga risiko keterlambatan pembayaran.

Di sinilah pentingnya edukasi dan transparansi karena banyak pengguna layanan BNPL yang tidak menyadari bahwa keterlambatan satu hari pun dapat terekam dan menurunkan skor kredit. Padahal, skor tersebut kini menjadi salah satu faktor penentu lembaga keuangan dalam menilai kelayakan pemberian pinjaman.

Baca juga: Pentingnya menjaga skor kredit sebagai reputasi finansial masa depan

Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.