Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Keuangan Publik Universitas Indonesia Dian Puji Nugraha Simatupang menjelaskan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) dan kuota haji tidak termasuk instrumen keuangan negara.
"Bipih sepenuhnya berasal dari jamaah, bukan dari APBN, sehingga tidak dapat menjadi keuangan negara karena penggunaan dan pemanfaatan sepenuhnya bagi jamaah haji," ujar Dian Puji di Jakarta, Kamis.
Pernyataan Dian tersebut disampaikan untuk menjawab polemik mengenai status hukum Bipih dan kuota haji dalam perkembangan penyidikan kasus dugaan korupsi kuota haji tambahan.
Menurut Dian, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, Bipih dan Bipih Khusus merupakan biaya yang dibayarkan langsung oleh jamaah calon haji.
"Karena tidak bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dana tersebut tidak termasuk penerimaan negara, baik dalam bentuk pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP)," ujarnya.
Dian menyatakan Bipih berstatus sebagai dana titipan jamaah haji, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Dalam penjelasan pasal itu disebutkan dana titipan jamaah haji tidak dicatat dalam APBN.
"Artinya, dana tersebut tidak pernah masuk dalam kas negara dan tidak tercatat sebagai penerimaan maupun pengeluaran negara," ujar Dian.
Dian juga menilai tidak tepat jika dana Bipih yang belum digunakan dianggap berpotensi menimbulkan kerugian negara. Ia menegaskan apabila jamaah batal berangkat, dana Bipih wajib dikembalikan sepenuhnya tanpa potongan.
"Tidak ada kerugian negara di sana karena seluruh dana adalah milik jamaah, bukan milik pemerintah dan tidak menjadi milik negara ketika jamaah batal berangkat," kata dia.
Baca juga: KPK: BPK masih hitung kerugian keuangan negara pada kasus kuota haji
Selain soal dana, Dian menyoroti status kuota haji yang kerap disalahpahami sebagai hak negara. Ia menegaskan kuota haji tidak dapat dinilai dengan uang dan bukan bentuk penerimaan negara.
"Kuota haji adalah hak administratif bagi jamaah, bukan hak fiskal negara. Kuota tidak menghasilkan pendapatan atau keuntungan negara karena sifatnya bukan untuk mencari keuntungan," katanya.
Menurut Dian, penetapan kuota haji merupakan kewenangan administratif Menteri Agama, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019. Penetapan itu didasarkan pada kondisi faktual dan prinsip kemanfaatan bagi jamaah.
"Jika ada keberatan atau dugaan pelampauan wewenang, penyelesaiannya harus melalui mekanisme hukum seperti Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi, bukan asumtif," kata dia.
Ia menilai pandangan yang menyebut kuota haji bernilai uang bagi negara merupakan kekeliruan konseptual.
"Kuota bukan pajak, bukan PNBP, dan tidak menambah kas negara dan penerimaan negara. Penyelenggaraan haji adalah kegiatan pelayanan publik yang bersifat nirlaba," ujar Dian.
Lebih lanjut, Dian menyatakan hingga kini tidak ada dokumen resmi pemerintah yang mencatat Bipih sebagai penerimaan negara.
"Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak pernah menyatakan adanya kerugian negara dari dana Bipih, karena dana tersebut tidak pernah menjadi bagian dari APBN," ujarnya.
Baca juga: Kasus kuota haji, KPK terima pengembalian uang hingga puluhan miliar
Ia menjelaskan penyelenggaraan ibadah haji harus dipahami sebagai pelayanan keagamaan, bukan kegiatan ekonomi atau fiskal. Maka, wacana hukum mengenai Bipih dan kuota seharusnya diarahkan pada penguatan tata kelola dan transparansi bagi kemaslahatan jamaah.
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.