Inovasi anak bangsa ini diharapkan menjadi sebuah harapan baru agar hilirisasi kelapa sawit di Indonesia lebih berkembang pesat di tengah ketidakpastian global
Padang (ANTARA) - Tanaman bernama latin Elaeis oleifera atau lebih dikenal dengan kelapa sawit adalah salah satu komoditas unggulan yang banyak ditanam di Kalimantan dan Sumatera. Dalam hal ekspor, tumbuhan asli Amerika ini tergolong masif digarap petani maupun perusahaan.
Umumnya, buah kelapa sawit diolah menjadi produk kebutuhan rumah tangga misalnya minyak goreng, margarin serta mentega putih. Sementara, untuk kebutuhan industri diolah menjadi bahan bakar biodiesel atau pelumas.
Sebagai komoditas superior di Indonesia, tidak jarang para petani berlomba-lomba membudidayakan kelapa sawit sebagai mata pencaharian utama. Hal ini tidak terlepas dari nilai jual tandan buah segar yang terkadang melonjak tinggi hingga Rp3.000 per kilogram bahkan lebih.
Jika seorang petani memiliki sekitar dua hektare sawit dengan hasil panen rata-rata dua ton, maka ia bisa meraup pundi-pundi sebesar Rp6 juta dalam satu kali panen yang hanya berkisar 15-20 hari. Artinya, dalam kurun satu bulan atau 40 hari saja, petani kelapa sawit bisa memperoleh hingga Rp12 juta.
Namun, hasil panen kelapa sawit tidak selalu menggembirakan. Kalkulasi terkadang berbanding terbalik dengan harapan. Banyak faktor yang melatarbelakangi hasil panen berkurang ataupun berkualitas rendah, mulai dari kondisi cuaca, ketidakdisiplinan panen, hama penyakit hingga kesalahan penanganan pascapanen.
Terkadang, buah yang dipanen tidak sesuai standar yang ditetapkan oleh pabrik kelapa sawit. Sebab, walau bagaimanapun perusahaan kelapa sawit memiliki ukuran yang jelas dan terukur untuk menampung sawit petani.
Ketidakcocokan hasil panen dan standar pabrik tersebut adakalanya membuat petani harus rela buah kelapa sawitnya dibeli dengan harga miring bahkan tidak masuk akal.
Belum lagi adanya permainan tengkulak atau pengepul sawit yang hingga saat ini masih menjadi momok bagi petani. Mereka menekan petani dan mematok harga yang kerap merugikan dengan dalih harga sawit sedang anjlok ataupun kualitas buah belum siap panen.
Melihat kompleksnya permasalahan tersebut, peneliti sekaligus Direktur Kerjasama dan Hilirisasi Riset, Universitas Andalas (UNAND), Sumatera Barat Dr Eng Muhammad Makky menciptakan sebuah alat yang diproyeksikan akan membawa perubahan signifikan terhadap petani dan dunia kelapa sawit di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan salah satu dari delapan Asta Cita Presiden ialah melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi yang bertujuan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.
Dengan kata lain, poin ini menekankan agar berbagai kekayaan sumber daya alam diolah di negeri sendiri supaya memberikan dampak dan kontribusi nyata terhadap kesejahteraan masyarakat, terutama dari sisi perekonomian.
Muhammad Makky merupakan dosen yang masuk dalam daftar jajaran 100 top ilmuan Indonesia versi AD Scientific Index 2025. Ia berhasil membuat sebuah alat yang dapat mengukur atau mendeteksi tingkat kematangan buah kelapa sawit yang masih berada di pohonnya.
Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.