Dari orbit, Nusantara tidak lagi tampak sebagai gugusan pulau yang terpisah-pisah, tetapi sebagai satu kesatuan wilayah strategis yang perlu dijaga dengan presisi

Jakarta (ANTARA) - Indonesia bukan sekadar negara kepulauan, melainkan bentang geospasial raksasa dari garis khatulistiwa hingga samudra lepas.

Indonesia memiliki 17.000 pulau, daratan seluas 1,9 juta km², dan wilayah laut 6,4 juta km², serta garis pantai mencapai 108.000 km.

Dengan lanskap seperti itu, pengawasan wilayah mustahil dilakukan hanya dengan kapal patroli, pesawat pengintai, atau tenaga manusia di lapangan.

Pada konteks itulah satelit penginderaan jauh bukan lagi sekadar perangkat teknologi, melainkan instrumen untuk menjaga kedaulatan.

Teknologi penginderaan jauh, kini dimanfaatkan untuk memantau wilayah maritim, aktivitas tambang ilegal, perencanaan pangan, hingga deforestasi dan perubahan lingkungan.

Dari orbit, satelit memungkinkan Indonesia melihat dirinya secara utuh, mendeteksi kapal asing, kebakaran hutan sejak dini, kekeringan, serta berbagai aktivitas ilegal yang sulit dijangkau patroli darat.

Di sektor pangan dan perikanan, citra satelit digunakan memantau pertumbuhan padi, memperkirakan panen, memberi peringatan dini, serta menentukan zona tangkap ikan yang efisien.

Pada saat yang sama, data spasial satelit memperkuat pengawasan sawit ilegal, tambang tanpa izin, perambahan kawasan hutan, serta perubahan garis pantai dan dinamika pesisir.

Tekanan terhadap ruang darat dan laut Indonesia terus meningkat, termasuk deforestasi, alih fungsi lahan, perubahan garis pantai, hingga aktivitas ekonomi ekstraktif yang sulit dipantau langsung.

Dalam kondisi ini, satelit menjadi mata strategis bangsa untuk memastikan setiap jengkal wilayah, baik di hulu maupun hilir, di pegunungan hingga pesisir, terawasi secara berkelanjutan.

Penginderaan jauh berfungsi sebagai sistem peringatan dini bagi krisis ekologis, sekaligus landasan analisis dalam perencanaan tata ruang dan mitigasi bencana.

Meski kebutuhan data spasial terus meningkat, Indonesia masih bergantung pada citra satelit asing dengan biaya sangat tinggi citra VHR di bawah 50 cm dapat mencapai USD 300–800 per km², yang jika dikalikan dengan lebih dari 8 juta km² wilayah Indonesia dapat menelan anggaran hingga Rp40 triliun hingga Rp100 triliun hanya untuk satu kali liputan.

Ketergantungan ini bukan hanya soal biaya, tetapi juga menyangkut kedaulatan, karena data rekaman satelit asing memungkinkan pihak luar membaca potensi sumber daya, aktivitas strategis, hingga kepentingan ekonomi dan pertahanan Indonesia.

Di era geopolitik modern, penguasaan data menjadi bagian dari kedaulatan, setara dengan penguasaan wilayah fisik.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.