Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menilai Indonesia membutuhkan satu otoritas tunggal yang memiliki mandat lintas sektor agar kebijakan transisi energi dan mitigasi krisis iklim dapat berjalan terpadu.

“Langkah ini penting agar Indonesia memiliki instant credibility di mata dunia untuk serius menghadapi dampak krisis iklim sekaligus membuka peluang ekonomi dan pembiayaan baru dari investasi maupun komitmen global menghadapi perubahan iklim,” kata Eddy dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.

Hal ini disampaikan Eddy dalam diskusi yang diselenggarakan The Habibie Center bertajuk Climate Action 101 Talkshow: From Crisis to Opportunity – Indonesia’s Path to Sustainable Growth di Jakarta Convention Center. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian acara Indonesia Internasional Sustainability Forum (IISF).

Eddy menilai kehadiran lembaga tersebut diperlukan lantaran dampak perubahan iklim kini semakin terasa di Indonesia.

"Mulai dari anomali iklim, banjir besar yang terjadi di berbagai tempat, indeks kualitas udara yang buruk hingga masalah sampah. Di sisi lain, upaya percepatan transisi energi belum memaksimalkan potensi energi terbarukan di Indonesia," ujarnya.

Menurutnya, pengelolaan energi dan penanganan perubahan iklim di Indonesia menghadapi persoalan mendasar di tingkat kebijakan.

Baca juga: Pimpinan MPR dukung penanganan krisis iklim jadi prioritas nasional

Ia menyebut adanya tiga tantangan utama yang perlu segera dibenahi, yakni policy coordination, policy clarity, dan policy consistency.

Eddy menyoroti masih tumpang tindihnya koordinasi antarkementerian dalam pengembangan ekonomi karbon.

“Untuk masuk ke sektor karbon, pelaku usaha harus berurusan dengan empat kementerian koordinator dan dua belas kementerian teknis. Oleh karena itu perlu upaya khusus untuk menjadi pemimpin global di bidang climate, sebagaimana diharapkan Presiden Prabowo” ujarnya.

Oleh karena itu, Doktor Ilmu Politik UI ini mengusulkan pembentukan lembaga khusus atau bahkan kementerian yang berfokus pada koordinasi kebijakan ekonomi karbon dan pengelolaan perubahan iklim.

Eddy berpendapat, keberadaan kementerian tersebut akan menjadi simbol keseriusan Indonesia dalam menghadapi era krisis iklim, bukan sekadar perubahan iklim.

“Kita sudah melewati fase climate change dan kini memasuki climate crisis yang menuntut penanganan darurat dan sistematis serta yang paling utama adalah menjadi prioritas,” ujarnya.

Selain mengusulkan kementerian khusus, Eddy juga menekankan pentingnya percepatan regulasi yang mendukung transisi energi.

Baca juga: MPR: Tingkatkan pengetahuan masyarakat untuk hadapi perubahan iklim

Ia menyebut DPR dan pemerintah tengah membahas empat rancangan undang-undang penting, yakni RUU Energi Terbarukan, RUU Ketenagalistrikan, RUU Migas, dan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim.

Untuk RUU Pengelolaan Perubahan Iklim yang merupakan inisiatif Fraksi PAN DPR RI telah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2026 dan diharapkan rampung tahun depan.

“Dengan regulasi yang jelas dan koordinasi yang kuat, Indonesia bisa mempercepat transisi energi sekaligus memperkuat komitmen global terhadap penanganan krisis iklim,” tuturnya.

Eddy menutup dengan keyakinan bahwa Indonesia memiliki semua modal untuk memimpin transformasi energi bersih secara global dengan diiringi oleh kebijakan yang terintegrasi di bawah satu payung kelembagaan.

“Krisis iklim bukan lagi isu lingkungan, melainkan isu eksistensial bangsa. Kita butuh kementerian yang mampu menjembatani kebijakan lintas sektor agar Indonesia tidak hanya bertahan, tapi juga memimpin dalam ekonomi hijau,” kata Eddy.

Baca juga: KLH perkuat SRN PPI guna percepat perdagangan karbon global inklusif

Baca juga: Wakil Ketua MPR: Parlemen harus terdepan dorong transisi energi

Baca juga: Profesor UNIB identifikasi 19 kearifan lokal adaptasi perubahan iklim

Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.