Jakarta (ANTARA) - Di hadapan Sidang Majelis Umum Ke-80 PBB, Presiden Prabowo Subianto dengan lantang menegaskan tekad Indonesia untuk menghadapi perubahan iklim melalui langkah-langkah nyata dan memenuhi komitmen Perjanjian Paris.
Pernyataan serupa ia sampaikan dalam dua forum global lainnya, janji penghentian penggunaan batu bara dalam 15 tahun ke depan di KTT G20 Brasil pada November 2024 dan komitmen penggunaan 100 persen energi terbarukan dalam satu dekade pada kunjungan kenegaraan ke Brasil Juli 2025.
Tiga pernyataan di tiga panggung internasional itu menunjukkan ambisi besar Presiden Prabowo untuk menempatkan Indonesia sebagai pemimpin hijau di tingkat global.
Ini menjadi angin segar bagi masyarakat, mengingat ketergantungan tinggi Indonesia pada bahan bakar fosil masih menjadi penyumbang terbesar kenaikan emisi setiap tahun, sebagaimana dilaporkan Global Carbon Budget 2024.
Dampaknya terasa nyata, di antaranya bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang, puting beliung, dan hujan ekstrem semakin sering terjadi.
Studi Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) juga menunjukkan, polusi dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya di Banten menyebabkan sekitar 1.470 kematian setiap tahun, dengan dampak yang menjangkau hingga wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Namun, ambisi tersebut membutuhkan langkah nyata untuk mewujudkannya. Menjelang COP30 di Brasil pada November 2025, Indonesia seharusnya telah menyerahkan dokumen rencana aksi iklim nasional kedua (Second Nationally Determined Contribution/SNDC) ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sejak Februari lalu.
Hingga batas waktu yang diperpanjang sampai akhir September 2025, dokumen penting ini belum juga dikirimkan.
Sebagai mandat dari Perjanjian Paris yang diperbarui setiap lima tahun, NDC bukan sekadar dokumen administratif. Namun merupakan “janji resmi” Indonesia kepada dunia tentang langkah-langkah nyata dalam menurunkan emisi, termasuk dari sektor energi.
Maka, keterlambatan penyampaian SNDC bukan hanya soal teknis, tetapi juga menyangkut kredibilitas dan konsistensi Indonesia dalam kepemimpinan iklim global.
Membuktikan komitmen
Indonesia telah menunjukkan komitmennya sejak meratifikasi Perjanjian Paris melalui UU No 16/2016. Sejak saat itu, berbagai dokumen strategis diterbitkan, NDC pertama pada 2016 dengan target penurunan emisi 29 persen (atau 41 persen dengan dukungan internasional) pada 2030, disusul pembaruan pada 2021 melalui Updated NDC dan dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050).
Pada 2022, Enhanced NDC (ENDC) bahkan menetapkan target lebih ambisius: penurunan emisi 31,89 persen (atau 43,2 persen dengan dukungan internasional) pada 2030.
Dokumen SNDC menjadi langkah lanjutan yang krusial bagi Indonesia untuk menjabarkan janji-janji ambisius tersebut ke dalam strategi nyata.
Apalagi, SNDC ini akan menjadi yang pertama diserahkan pada era pemerintahan Presiden Prabowo.
Keterlambatan dalam penyusunan dan penyampaiannya tentu dapat mengurangi kepercayaan internasional terhadap kepemimpinan Indonesia, meskipun Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq telah menyatakan bahwa penyusunannya sudah memasuki tahap akhir sejak Juli 2025.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.