kemitraan Indonesia–Belanda dapat dipahami sebagai bentuk ketergantungan yang saling menguntungkan, asalkan dikelola dengan transparansi, aturan main yang jelas, serta prinsip kesetaraan

Jakarta (ANTARA) - Pertemuan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Sugiono, dengan Menteri Luar Negeri Belanda, David van Weel, dan pengumuman Rencana Aksi 2026–2029, pada Kamis (9/10), bukan hanya soal protokol diplomatik.

Peristiwa itu adalah tanda bahwa hubungan antara dua negara yang pernah bertaut melalui sejarah panjang ini, sedang diarahkan pada agenda masa depan, yang berfokus pada ekonomi hijau, investasi berkelanjutan, dan perdagangan yang adil.

Saat ini, dunia tengah bergerak ke arah ekonomi hijau. Model pembangunan lama yang bergantung pada eksploitasi sumber daya mulai ditinggalkan. Negara-negara berlomba menyesuaikan diri dengan standar keberlanjutan yang menjadi prasyarat baru dalam perdagangan global.

Bagi Indonesia, tantangan utamanya adalah mentransformasi struktur ekonomi yang masih bertumpu pada komoditas menjadi ekonomi berbasis nilai tambah. Dalam hal ini, kemitraan dengan Belanda dan Uni Eropa dapat menjadi katalis bila dirancang secara seimbang dan adil.

Belanda dikenal unggul dalam pengelolaan air, pertanian presisi, dan ekonomi sirkular. Pengalaman dan teknologi Negeri Kincir tersebut bisa menjadi sumber pembelajaran berharga bagi Indonesia, sepanjang proses transfernya tidak bersifat top-down, tetapi berlangsung melalui kolaborasi yang saling menguntungkan.

Kerja sama semacam itu dapat menghadirkan tiga keuntungan utama, yakni akses terhadap teknologi ramah lingkungan, modal berkelanjutan, dan peluang integrasi dalam rantai nilai global. Ketiganya akan mempercepat adopsi teknologi hijau di berbagai sektor strategis Indonesia.

Meski demikian, setiap peluang selalu hadir bersama risiko. Salah satu risiko terbesar adalah potensi ketergantungan pada standar dan pasar luar negeri yang belum tentu sesuai dengan kapasitas domestik, terutama bagi usaha kecil dan menengah.

Risiko lain muncul pada harmonisasi regulasi. Bila penyesuaian dilakukan terburu-buru tanpa dukungan kapasitas, Indonesia bisa terjebak dalam posisi reaktif, hanya mengikuti standar eksternal tanpa memiliki ruang negosiasi yang memadai.

Karena itu, Rencana Aksi 2026–2029 sebaiknya tidak sekadar menjadi daftar proyek kerja sama, tetapi peta jalan yang realistis, bertahap, dan inklusif. Ia harus menjawab persoalan ketimpangan kapasitas antar-sektor serta menyiapkan mekanisme pembelajaran konkret bagi pelaku lokal, agar transfer teknologi benar-benar menghasilkan peningkatan kompetensi dan daya saing nasional. Prinsipnya, kolaborasi harus mampu memperkuat kapasitas domestik.

Untuk memahami dinamika hubungan semacam ini, teori complex interdependence yang dikemukakan Robert Keohane dan Joseph Nye dapat dijadikan rujukan. Teori ini menegaskan bahwa hubungan antarnegara modern tidak lagi didominasi oleh kekuatan militer atau politik, melainkan oleh jejaring kepentingan ekonomi, sosial, dan teknologi yang saling terkait. Dalam kerangka ini, diplomasi tidak bersifat hierarkis, tetapi interaktif dan berbasis kepentingan bersama.

Melalui kacamata teori tersebut, kemitraan Indonesia–Belanda dapat dipahami sebagai bentuk ketergantungan yang saling menguntungkan, asalkan dikelola dengan transparansi, aturan main yang jelas, serta prinsip kesetaraan. Dalam kondisi seperti ini, kerja sama tidak akan menimbulkan dominasi salah satu pihak, melainkan membangun ruang inovasi bersama yang mampu mempercepat transisi menuju ekonomi hijau di kedua negara.

Dalam konteks yang lebih luas, kemitraan Indonesia–Belanda sejatinya merupakan bagian dari kerangka besar hubungan ekonomi Indonesia–Uni Eropa melalui perjanjian IEU-CEPA. Karena itu, implementasi IEU-CEPA dan Rencana Aksi bilateral perlu melibatkan berbagai aktor, mulai dari pemerintah, swasta, akademisi, hingga masyarakat sipil.

Diplomasi ekonomi pada era interdependensi kompleks tidak bisa lagi dijalankan secara eksklusif oleh pejabat negara semata. Keberhasilan kerja sama kini ditentukan oleh sejauh mana seluruh pemangku kepentingan mampu berkolaborasi dalam mewujudkan pembangunan hijau yang adil, setara, dan berkelanjutan.

Baca juga: Penguatan hubungan dagang Indonesia-Belanda didukung investasi besar

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.