Jakarta (ANTARA) - Dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia, istilah skripsi, tesis, dan disertasi telah begitu mapan digunakan untuk menandai jenjang tugas akhir mahasiswa S1, S2, dan S3. Jika ditinjau dari logika keilmuan dan filsafat ilmu, penggunaan istilah tersebut sejatinya kurang tepat secara konseptual.
Sudah saatnya kita memikirkan kembali istilah-istilah tersebut agar lebih sesuai dengan hakikat dinamika ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dalam kerangka berpikir ilmiah, dialektika bukan sekadar konsep abstrak, melainkan cara kerja pengetahuan itu sendiri. Hegel (1977) dalam Phenomenology of Spirit menjelaskan bahwa setiap kemajuan pengetahuan lahir dari dialog antara gagasan yang berlawanan, antara tesis dan antitesis, yang kemudian melahirkan sintesis sebagai pemahaman baru.
Setiap pengetahuan baru tidak hadir di ruang hampa; ia tumbuh dari gugatan terhadap pengetahuan lama.
Thomas Khun (1962) mengatakan revolusi ilmu pengetahuan tidak lahir dalam situasi normal, tetapi dalam situasi anomali yang sarat dialektik. Pendekatan dialektik ini menegaskan bahwa kebenaran ilmiah tidak pernah bersifat tunggal atau absolut. Ia bersifat sementara, terbuka terhadap koreksi, dan menunggu pembaruan berikutnya (Popper, 1959). Dengan demikian, ilmu tumbuh bukan karena diterima, tetapi karena ditantang dan diperiksa (Feyerabend, 1975).
Jika logika dialektika ini diterapkan dalam dunia akademik, maka karya ilmiah mahasiswa seharusnya dipahami sebagai bagian dari perjalanan intelektual, bukan sekadar ujian administratif.
"Tesis" di tingkat sarjana dapat dimaknai sebagai upaya pertama mahasiswa merumuskan posisi keilmuannya terhadap pengetahuan yang ada. Di jenjang selanjutnya magister, "antitesis" menjadi wadah untuk menguji atau memperluas batas pengetahuan tersebut. Sementara di tingkat doktoral, "sintesis" merepresentasikan kemampuan tertinggi seorang ilmuwan dalam membangun kerangka konseptual baru yang mempertemukan berbagai gagasan menjadi satu kesatuan yang lebih tinggi.
Dengan demikian, perubahan istilah bukan sekadar estetika linguistik, tetapi penegasan arah berpikir akademik. Ia mengingatkan kita bahwa ilmu bukan tumpukan data atau kutipan, melainkan arena perjumpaan ide yang terus bergerak menuju pemahaman yang lebih dalam.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.