Jakarta (ANTARA) - Ilmuwan Utama Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) Prof. Daniel Murdiyarso menyoroti perlunya perlindungan cadangan mangrove melalui upaya konservasi dibandingkan restorasi dengan dukungan pasar karbon biru.

Dalam seminar karbon biru di Jakarta, Selasa, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) sekaligus Ilmuwan Utama CIFOR-ICRAF itu menjelaskan bahwa ekosistem mangrove Indonesia dengan luasan 3,9 juta hektare memiliki potensi cadangan karbon sekitar 3,14 miliar ton.

"Kalau cadangan karbon tiga miliar ini dikonservasi mustinya kita sama dengan menahan atau menunda emisi fosil bukan? Umur dari blue carbon ini bisa 13 ribu tahun, ada yang 15 ribu. Jadi apa bedanya dengan fosil," kata Daniel.

Guru besar IPB University itu menyoroti bahwa meski ekosistem mangrove memiliki potensi yang sangat besar, tapi masih sedikit pihak yang menyinggung upaya melibatkan pasar karbon untuk menahan atau menunda emisi (avoiding emission).

"Yang banyak dibicarakan adalah restorasi mangrove untuk menyerap, jadi itu sulit sekali. Menyerap itu sulit, sering gagal dan banyak risikonya," tambahnya.

Baca juga: AHY kampanye bersihkan mangrove sebagai inisiatif infrastruktur hijau
Baca juga: Kaltim perkuat kapasitas daerah implementasikan proyek karbon biru

Dia menyoroti ekosistem mangrove Indonesia dengan potensi cadangan karbon yang luas itu mengalami kerusakan di sejumlah lokasi. Namun, katanya, upaya konservasi tidak menjadi agenda pasar karbon biru.

Karena itu ketika mitigasi emisi dari cadangan minyak dapat diagendakan maka perlindungan cadangan karbon biru di mangrove seharusnya dapat dilakukan dengan cara yang sama.

"Mudah-mudahan pasar akan melihat bahwa avoiding emission juga layak untuk dinilai atau dihargai, monetize secara finansial," tuturnya.

Menurut studi Bank Dunia pada 2022, rata-rata restorasi mangrove di Indonesia membutuhkan 3.900 dolar AS (sekitar Rp64 juta) per hektare.

Sementara itu, metode perhitungan benefit cost ratio (BCA) spasial melihat konservasi mangrove memiliki nilai lebih dari 5 atau memperlihatkan manfaat yang diharapkan melebihi dari biaya yang dikeluarkan. Salah satunya karena biaya konservasi lebih rendah dibandingkan restorasi.

"Restorasi jangan dilarang, itu bagus sekali. Tapi opportunity kita mendapatkan nilai karbon yang ditunda untuk diemisi jauh lebih besar. Benefit cost ratio-nya lebih rendah dan co-benefit untuk hal-hal yang lain seperti keuntungan masyarakat ketika mereka mengumpulkan kerang," demikian Daniel Murdiyarso.

Baca juga: KLH soroti potensi nilai ekonomi karbon biru dukung pengurangan emisi
Baca juga: SPSL tanam 16 ribu bibit mangrove perkuat ekosistem karbon biru

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.