Pasar berjangka memperkirakan hampir lima kali penurunan suku bunga hingga akhir 2026,
Jakarta (ANTARA) - Chief Investment Officer Bank DBS Hou Wey Fook memperkirakan tren kenaikan aset berisiko akan berlanjut sepanjang tahun 2025 seiring Federal Reserve (The Fed) memulai pelonggaran kebijakan moneter.
“Pasar berjangka memperkirakan hampir lima kali penurunan suku bunga hingga akhir 2026,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jakarta, Selasa.
Optimisme investor disebut muncul ketika kebijakan tarif efektif Amerika Serikat (AS) mencapai level tertinggi dalam sejarah sejak 1930-an, situasi yang berpotensi menekan keuntungan korporasi dan konsumsi domestik dalam beberapa bulan mendatang.
Tren kenaikan ini juga terjadi bersamaan dengan peluncuran “One Big Beautiful Bill” oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump, yang kembali memicu kekhawatiran pemborosan fiskal AS, mendorong imbal hasil Treasury jangka panjang naik, dan melemahkan dolar AS.
Kini, lanjut dia, utang pemerintah AS melebihi 120 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang berarti pemerintahan membutuhkan suku bunga lebih rendah untuk membiayai biaya pelunasan utang.
Lingkungan ini juga dianggap telah memicu kekhawatiran tentang dominasi fiskal, situasi saat kebutuhan fiskal mulai mengarahkan kebijakan bank sentral.
Selain dominasi fiskal, dia menilai topik lain yang kemungkinan besar akan mendominasi pembahasan dalam beberapa kuartal ke depan adalah tekanan stagflasi ringan, seiring dengan dampak negatif dari tarif Trump terus berlanjut.
“Proyeksi The Fed sendiri dan survei investor swasta menunjukkan risiko stagflasi yang meningkat, namun pasar tetap optimistis. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh optimisme tentang potensi transformatif kecerdasan buatan, dengan investor mengharapkan pertumbuhan laba yang kuat untuk tahun 2025 dan 2026, jauh di atas tahun-tahun sebelumnya,” ungkap Hou Wey.
Namun, tren kenaikan ini dikatakan masih rapuh, seperti terlihat dari sejumlah sinyal. Pertama ialah risiko konsentrasi berlebih, yakni sepuluh perusahaan teratas, terutama di sektor teknologi, kini menyumbang 38 persen dari total nilai S&P 500, naik dari 20 persen dibandingkan tahun 1995.
Investasi mereka yang besar di bidang Artificial Intelligence (AI) mungkin tak memberikan hasil sesuai ekspektasi, sehingga berpotensi menimbulkan koreksi pasar.
Kedua adalah risiko valuasi, dengan sinyal rasio Price to Earning (P/E) forward S&P 500 mendekati level ekstrem secara historis, sementara proyeksi perkiraan laba tetap stagnan.
Terakhir yaitu risiko pendapatan, dimana di luar sektor Big Tech, momentum pertumbuhan laba mulai melambat. Dampak tarif juga diperkirakan juga bakal menekan margin keuntungan dan menyebabkan revisi penurunan di masa mendatang.
Lebih lanjut, probabilitas terjadinya kenaikan tajam pada aset berisiko tetap tinggi mengingat kombinasi tiga faktor, yakni pelonggaran kebijakan moneter The Fed, kondisi makroekonomi yang ideal, dan dorongan investasi modal terkait AI.
Namun, pihaknya menyadari bahwa reli ini terjadi di tengah ketidakpastian kebijakan dan kekhawatiran fiskal yang mendominasi.
Dengan investor terjepit di antara dua pilihan sulit, DBS menawarkan strategi kepada investor untuk memanfaatkan reli ini sembari melindungi sisi bawah portofolio melalui diversifikasi.
Adapun prediksi pasar utama dari DBS pada kuartal IV-2025 adalah teknologi AS, didukung momentum kinerja yang kuat.
Berikutnya, menambah posisi di saham Asia di luar Jepang untuk memanfaatkan diskon valuasi dibandingkan pasar negara maju, serta memanfaatkan potensi kenaikan dari pelonggaran moneter The Fed dan pelemahan dolar AS.
Ketiga, lindungi portofolio dari risiko penurunan dengan menambah eksposur terhadap emas, dana lindung nilai (hedge fund), dan aset privat.
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.