Harapan untuk menaikkan kelas usaha mikro menjadi menengah baru akan terwujud jika pemerintah secara konstruktif menghapus hambatan birokrasi perizinan, memudahkan UMKM memilih badan hukum yang tepat seperti PT Perorangan, dan memastikan penyaluran K
Jakarta (ANTARA) - Legalitas usaha di kalangan UMKM Indonesia, terutama usaha mikro yang mendominasi hingga 99,71 persen dari total unit usaha, masih dianggap sebagai urusan rumit dan membuang-buang waktu.
Dalam praktiknya, masih ditemukan banyak calon penerima bantuan modal yang belum memiliki persyaratan administrasi, seperti legalitas usaha (NIB) atau NPWP, hal ini menjadi hambatan besar saat mereka mencoba mengakses pinjaman.
Padahal, tanpa izin usaha, sebuah bisnis akan dianggap ilegal, rentan terhadap sengketa hukum, sulit mendapatkan kepercayaan dari mitra, dan, yang paling fatal, terhalang dari akses pendanaan.
Permasalahan ini diperparah dengan temuan di lapangan bahwa masih ada lembaga penyalur KUR yang meminta agunan tambahan untuk kredit di bawah Rp100 juta, meskipun aturannya menjamin kredit di bawah plafon tersebut seharusnya tanpa agunan.
Kondisi ini menciptakan paradoks. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) menargetkan penyaluran sebesar Rp300 triliun pada tahun 2025, tapi 69,5 persen UMKM masih belum mendapat akses kredit.
Kejadian ini menunjukkan bahwa modal saja tidak cukup; hambatan birokrasi, seperti kurangnya legalitas dan prosedur kredit yang tidak dipatuhi, adalah akar masalah yang menghalangi UMKM naik kelas.
UMKM sendiri adalah tulang punggung sejati ekonomi Indonesia, menyumbang lebih dari 60persen kepada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menyerap hingga 97 persen tenaga kerja nasional.
Oleh karena itu, sudah saatnya fokus kita beralih: legalitas harus menjadi investasi yang mudah diakses, dan modal murah harus benar-benar sampai tanpa syarat berlebihan.
Ahli ekonomi internasional, Jeffrey Sachs, kerap menekankan bahwa investasi pada UMKM adalah cara tercepat untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan ekonomi suatu negara, karena mereka menopang lapangan kerja lokal.
Pandangan ini memperkuat urgensi pemerintah untuk tidak hanya memberikan dana, tetapi juga menghilangkan sumbatan birokrasi.
Senada dengan itu, pakar hukum bisnis Internasional, Klaus Schwab, menilai bahwa program kredit bersubsidi seperti KUR memerlukan kerangka hukum yang transparan dan digitalisasi total; kalau tidak, kredit hanya akan menjadi beban utang tanpa inovasi yang berkelanjutan.
Baca juga: Menko Pemberdayaan Masyarakat dan Kementerian UMKM perkuat legalitas nasabah PNM
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.