Kita sedang menyaksikan lahirnya generasi yang tumbuh dengan kemampuan digital tinggi, tetapi rentan kehilangan keheningan batin yang diperlukan untuk berpikir mendalam dan berelasi secara manusiawi

Jakarta (ANTARA) - Anak-anak yang lahir pada dekade terakhir ini, disebut Generasi Alpha, tumbuh di dunia yang sejak awal sudah digital. Sejak usia dua tahun, banyak dari mereka sudah akrab dengan layar, dari video YouTube, gim edukatif, hingga aplikasi belajar interaktif.

Buku bergambar dan dongeng klasik perlahan tergeser oleh video animasi dengan warna mencolok dan lagu yang mudah diingat.

Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Ini adalah cermin zaman. Dalam masyarakat yang serba cepat dan visual, perhatian menjadi mata uang baru. Anak-anak pun belajar untuk berpikir dalam gambar dan suara, bukan dalam teks panjang.

Istilah Generasi Alpha pertama kali diperkenalkan oleh demograf asal Australia, Mark McCrindle, untuk menyebut anak-anak yang lahir mulai tahun 2010 hingga sekitar 2025, generasi pertama yang sejak awal hidup dalam dunia gawai, media sosial, dan kecerdasan buatan.

Beberapa lembaga riset seperti Pew Research Center memang menempatkan tahun 2012 sebagai batas akhir Generasi Z, namun dalam konteks perilaku dan budaya digital, anak-anak kelahiran 2010–2012 lebih dekat dengan karakter Gen Alpha: visual, cepat beradaptasi dengan teknologi, dan terbiasa belajar melalui layar.

Karena itu, anak kelahiran 2012 pun dapat dikatakan bagian dari generasi digital murni yang sedang tumbuh di sekitar kita.

Sebuah riset dari Morning Consult (2024) menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak Gen Alpha menonton video setiap hari, sementara aktivitas membaca buku menempati posisi jauh di bawah.

Penelitian serupa di Indonesia, misalnya oleh Dwi Putri dan Nurhaliza (2023) dari Universitas PGRI Palembang, menegaskan bahwa lingkungan digital yang dominan telah mengubah cara anak belajar, berinteraksi, dan membangun makna.

Namun di balik kemudahan dan kecepatan itu, ada persoalan mendalam. Anak-anak kini lebih mudah terpesona, tetapi lebih sulit fokus; cepat memahami permukaan, tetapi sering kehilangan kedalaman.

Kita sedang menyaksikan lahirnya generasi yang tumbuh dengan kemampuan digital tinggi, tetapi rentan kehilangan keheningan batin yang diperlukan untuk berpikir mendalam dan berelasi secara manusiawi.

Baca juga: Gen Beta lahir 2025, kenali gen kelahiran Pre-Boomers hingga Gen Alpha

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.