Surabaya (ANTARA) - Teknologi telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Hampir semua aspek kehidupan, mulai dari berkomunikasi dengan keluarga, berinteraksi dengan teman, hingga menyelesaikan pekerjaan, kini bergantung pada perangkat digital.
Perlu menjadi perhatian serius adalah bagaimana kebiasaan mengonsumsi informasi melalui media sosial ini secara perlahan dapat mengubah karakter penggunanya.
Setiap konten yang ditonton, komentar yang dibaca, serta video viral yang disebarkan membawa nilai tertentu yang tanpa disadari meresap ke dalam pola pikir dan perilaku.
Anak-anak dan remaja menyerap nilai-nilai dari konten digital, tanpa filter yang memadai, serta bimbingan yang cukup untuk membedakan mana informasi baik dan tidak baik. Pendidikan karakter menjadi mendesak sebagai fondasi kuat agar generasi muda tidak kehilangan jati diri.
Bahaya paparan konten negatif dari media sosial menjadi ancaman nyata bagi perkembangan karakter generasi muda. Konten yang mengandung kekerasan, pornografi, ujaran kebencian, perundungan, hingga berita bohong tersebar dengan mudah dan cepat.
Algoritma media sosial dirancang untuk meningkatkan engagement, justru sering kali mempromosikan konten sensasional dan kontroversial karena lebih menarik perhatian pengguna.
Anak-anak dan remaja, tanpa sadar terpapar materi yang tidak sesuai dengan usia dan perkembangan mentalnya. Paparan konten negatif yang terus-menerus dapat "menormalkan" perilaku buruk, mengikis empati, dan membentuk pola pikir yang menyimpang dari nilai-nilai luhur bangsa.
Fenomena yang kini mulai banyak dibicarakan adalah pembusukan otak atau brain rot akibat kebiasaan mengonsumsi konten media sosial secara berlebihan.
Istilah ini merujuk pada penurunan kualitas kemampuan kognitif, konsentrasi, dan daya pikir kritis seseorang akibat terlalu banyak mengonsumsi konten pendek, dangkal, dan tidak berkualitas.
Video berdurasi 15-30 detik yang berganti-ganti cepat, melatih otak untuk mencari kepuasan instan, tanpa perlu usaha berpikir mendalam. Akibatnya, kemampuan untuk fokus dalam waktu lama, membaca teks panjang, atau memahami konsep kompleks menjadi menurun.
Generasi muda yang seharusnya mengasah kemampuan berpikir kritis justru terjebak dalam siklus konsumsi konten yang pasif dan tidak produktif.
Di tengah tantangan tersebut pendidikan karakter menjadi solusi fundamental untuk mewujudkan generasi emas Indonesia. Generasi emas yang dimaksud bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang kuat, berintegritas, dan mampu memilah informasi dengan bijak.
Pendidikan karakter mengajarkan nilai-nilai moral, etika, tanggung jawab, empati, dan kejujuran yang akan menjadi filter alami ketika mereka berinteraksi di dunia digital.
Dengan fondasi karakter yang kuat, generasi muda akan memiliki kemampuan untuk menolak konten negatif, menggunakan media sosial secara produktif, dan memanfaatkan teknologi untuk hal-hal yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.
Pendidikan karakter bukan sekadar tambahan dalam kurikulum, melainkan kebutuhan mendesak yang harus diintegrasikan dalam setiap aspek pembelajaran untuk memastikan Indonesia memiliki generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga bermartabat dan siap memimpin bangsa di masa depan.
Di tengah tantangan itu, sejumlah daerah mulai menunjukkan jalan keluar. Jawa Timur menjadi salah satu contoh bagaimana pendidikan karakter di era digital bisa dijalankan secara konkret.
Alih-alih menolak teknologi, para pendidik di provinsi tersebut memilih memanfaatkan literasi digital sebagai jembatan untuk menanamkan nilai.
Dari situ lahir berbagai program inovatif. Ada inisiatif "Cerdas Digital" atau disingkat "CERDIG" yang dicetuskan Kominfo Jawa Timur. Fokusnya mengajarkan etika digital dan tanggung jawab saat bermedia sosial, terutama untuk pelajar dan masyarakat di daerah pesisir.
Universitas Brawijaya Malang, bekerja sama dengan Kominfo Jawa Timur menggelar lokakarya tentang kecerdasan buatan. Tujuannya mengajarkan cara menggunakan kecerdasan buatan secara etis dan produktif, bukan sembarangan.
Kepala Dinas Kominfo Jawa Timur Sherlita Ratna menyampaikan pemikiran yang relevan untuk seluruh Indonesia, yaitu teknologi itu netral, yang membuatnya bernilai adalah cara manusia menggunakannya.
Sederhana, namun mendalam. Artinya, memiliki keterampilan digital, tanpa moral, sama saja dengan memiliki kemampuan, tanpa tujuan yang jelas.
Beberapa sekolah di Jawa Timur mulai bergerak konkret dan bisa menjadi inspirasi nasional. SMP Negeri 1 Lamongan menjadi pelopor dengan menerapkan pendekatan sains, teknologi, teknik, seni, dan matematika (STEAM)).
Sekolah tersebut tidak hanya mengajarkan siswanya tentang memprogram komputer atau teknologi semata, tetapi juga diajarkan nilai etika dalam menggunakan semua itu.
Selain itu, di Sidoarjo, sebanyak 2.764 mahasiswa calon guru dari Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya mengikuti orientasi khusus tentang pendidikan karakter di era digital. Mereka diajarkan pentingnya moralitas dan empati dalam pembelajaran yang berbasis teknologi.
Di SMPN 9 Mojokerto, dinas pendidikan mendirikan "Pojok Literasi Digital" yang menjadi ruang bagi siswa untuk belajar dan merenung tentang bagaimana menggunakan teknologi untuk hal-hal positif, bukan sekadar untuk menggulung layar.
Semua contoh dari Jawa Timur ini menunjukkan satu hal, yaitu pendidikan sekarang tidak lagi soal transfer pengetahuan. Lebih dari itu, guru harus membimbing cara berpikir dan berperilaku di dunia yang makin digital.
Meskipun demikian, sekolah saja tidak cukup untuk bangsa sebesar Indonesia. Rumah tetap menjadi benteng pertama dalam membentuk karakter anak.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.