Pernah tertahan tiga hari di perbatasan Banglades ke Bhutan karena Visa
Jakarta (ANTARA News) - Penjelajah dunia asal Indonesia, Jeffrey Polnaja, menceritakan perjalanan paling berkesan sekaligus menantang ketika mengelilingi dunia sejak 2006 hingga 2015 adalah melintasi Afganistan dan Alaska.

Jeffrey Polnaja sukses menuntaskan misi Ride For Peace berkeliling dunia seorang diri melintasi 97 negara sejauh 420.000 km menggunakan motor besar BMW R 1150 GS.

Jeffrey Polnaja memulai petualangan pertamanya pada tahun 2006 dengan melintasi kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika dan Eropa. Pada 2012 Jeffrey Polnaja yang sempat kembali ke Indonesia melanjutkan perjalanannya dari Belgia menuju Siberia kemudian menyebrang ke Amerika menuju Alaska dan ujung selatan Amerika Selatan.

Ia kembali ke Indonesia setelah melintasi benua Australia menuju Timor Leste kemudian melintasi Nusa Tenggara Barat, Bali, kemudian Pulau Jawa ke Jakarta.

Jeffrey Polnaja menjadi orang kedua di dunia yang mengendarai sepeda motor terjauh seorang diri. Orang pertama yang berhasil berkendara jarak terjauh adalah Emillio Scotto asal Argentina yang menempuh 735.000 km menggunakan motor Honda Gold Wing GL1100.

"Perjalanan paling ekstrim dari sisi keadaan adalah ketika melintasi Afganistan yang sedang berkonflik, saya melihat korban-korban perang," kata Jeffrey Polnaja setelah tiba di kantor Pusat Ikatan Motor Indonesia (PP IMI), Jakarta, Sabtu.

Namun Jeffrey Polnaja yang akrab disapa Kang JJ tetap melintasi Afganistan kerena misinya berkeliling dunia adalah menyebarkan perdamaian lewat tema Ride For Peace dan membawa bendera Indonesia.

Sementara perjalanan berkesan lainnya adalah ketika menuju Alaska di ujung utara benua Amerika yang memiliki cuaca ekstrim.

"Cuaca di Alaska sangat ekstrim, siang bisa mencapai 55 derajat Celcius tapi malam bisa minus 4 derajat Celcius. Jalur di Alaska juga ekstrim, tidak ada jalan utama. Dari 3.000 jarak yang ditempuh, 500 kilometer di ataranya merupakan medan offroad," jelas pria asal Bandung Jawa Barat ini.

Jeffrey pun bercerita bahwa dirinya berhasil melintasi jalur loose gravel sepanjang ribuan kilometer sepanjang Dalton Highway yang terkenal sulit dilintasi demi mencapai titik Deadhorse, Prudhoe Bay, bagian Alaska paling utara.

"Di Alaska, saljunya bisa selutut orang dewasa. Makanya mau-tidak-mau saya gas motor sekuat mungkin. Di sebagian wilayah anginnya juga kencang," kata Jeffrey.


Servis motor sendiri


Jeffrey melakukan perjalanan seorang diri tanpa ditemani tim apalagi mekanik sehingga ia harus menjaga kondisi kendarannya sendirian dengan melakukan servis rutin.

"Saya lakukan sendiri di perjalanan secara rutin. Manusia itu kalau kepepet pasti jadi pinter. Saya pernah mengalami pecah ban, saya sampai seharian untuk benerin itu," kata Jeffrey.

Selain itu, ia mengaku tidak melakukan banyak modifikasi pada motor BMW R 1150 GS yang ditungganginya selain menambahkan fitur keamanan mesin sehingga tidak mudah rusak ketika terjatuh.

Pria 53 tahun ini menyebutkan selama perjalanan telah menggunakan 39 pasang ban yang digantinya sebelum habis atau tipis demi menjaga keamanan berkendara.

Untuk urusan bahan bakar, motornya diatur dengan konsumsi satu liter bahan bakar untuk 10 kilometer sehingga menghabiskan setidaknya 42ribu liter bensin.

"Sekitar 42 ribu liter bahan bakar dari berbagai macam jenis. Bahan bakar paling mahal di Amerika Selatan dan yang paling murah di Arab Saudi seharga Rp2.000 per liter," katanya.

Jeffrey yang enggan menyebutkan rincian biaya perjalanan mengatakan uang bukanlah segalanya karena petualangan juga membutuhkan mental dan keberanian.

Jeffrey pernah mengalami kerusakan mesin yang menghabiskan biaya 3.000 dolar AS di Meksiko padahal uangnya hanya tersisa 500 dolar sehingga ia harus mencari tambahan pemasukan.

"Ternyata di jalan uang bukanlah segalanya. Yang penting adalah skill yang bisa mendatangkan keuntungan di perjalanan, misalnya fotografi," katanya.

"Mau pulang ke Indonesia enggak bisa. Namun tiga hari kemudian ada pemasukan dari kontrak dan saya juga bisa menjual foto. Lumayan tambahan 200-300 dolar," katanya.


Kendala perbatasan


Jeffrey juga menceritakan pengalamannya melintasi perbatasan antar negara yang memiliki budaya berbeda.  Menurutnya hal terpenting ketika melintas perbatasan negara adalah memastikan bahwa motor dan barang-barang sudah terkirim.

"Pertama, urus motornya duluan kemudian orangnya. Jika orangnya sudah nyebrang duluan tapi motornya belum dan terkendala, maka akan merepotkan karena orangnya akan balik lagi untuk mengurusnya," kata Jeffrey.

Ia juga menyarankan untuk berhati-hati ketika memarkir motor di perbatasan antar negara dengan risiko penyelundupan barang terlarang lewat motor ketika pengendara sedang mengurus izin melintas.

"Kalau lagi ngurus surat di perbatasan harus parkir di bawah pengawasan CCTV, atau dititipkan kepada petugas. Karena biasanya ada oknum di perbatasan yang menyelipkan (narkoba) di motor untuk diambil lagi di negara selanjutnya," jelas Jeffrey.

Ia pun menyarankan untuk menjaga dokumen penting seperti Visa dengan seksama dan selalu berkomunikasi baik dengan warga setempat.

"Pernah tertahan tiga hari di perbatasan Banglades ke Bhutan karena Visa. Saya yakin Visa saya ada, ternyata entah di mana. Akibatnya saya terkatung-katung sampai ada yang menolong dari pihak imigrasi Bhutan," katanya.

Fahmi Idris selaku Ketua Ride For Peace Indonesia menyebut Jeffrey sebagai sosok yang nekat karena berani berkeliling dunia naik motor sendirian.

"Percaya enggak percaya. Tapi orang ini (Jeffrey) punya modal nekat. Dia bisa semua, berkendara dan melakukan servis sendiri. Jadi nekat yang dibarengi dengan kompetensi," kata Fahmi Idris yang ikut menyambut kedatangan Jeffrey.

Sikap berani tersebut yang membuat pihak Ride For Peace terus mendukung langkah yang dilakukan Jeffrey di luar negeri.

"Dia pun selalu memberi kabar, misalnya ketika sedang berada di salju Alaska yang tebalnya hingga selutut," kata Fahmi. "Semoga menginspirasi yang muda, jika 420.000 kilometer dianggap sulit, cobalah setengahnya. Jika sendian terasa sulit, cobalah melakukannya bersama tim."

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015