Tanpa izin yang lengkap dan kepastian regulasi, investasi besar bisa terbentur oleh masalah legalitas yang tak ringan.

Mataram (ANTARA) - Pada suatu senja di pesisir Sekotong, Lombok Barat, terhampar keindahan laut yang memikat, dengan air jernih, angin sepoi, dan pulau mungil yang seolah menjadi mercu daya wisata masa depan.

Namun di balik panorama itu, tersimpan kisah yang jauh dari gemerlap, ketika sebuah proyek yang diklaim sebagai pengembangan resort justru masuk dalam sorotan karena diduga melakukan reklamasi tanpa izin resmi.

Di sinilah muncul ketegangan antara dorongan ekonomi dan pariwisata di satu sisi, dengan penegakan aturan perizinan yang semestinya menjaga ruang laut tetap berada dalam koridor keberlanjutan di sisi lain.

Isu ini menjadi penting bukan hanya karena menyangkut persoalan lokal di Gili Gede semata, melainkan juga menggambarkan bagaimana sebuah wilayah yang kaya potensi wisata sedang berhadapan dengan dilema klasik antara keinginan untuk membangun dengan cepat dan tuntutan untuk menerapkan tata kelola yang baik.

Jika salah kelola, bukan hanya kerusakan lingkungan yang akan mengancam, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah dan sistem pengelolaan sumber daya yang bisa perlahan terkikis.

Belakangan, Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (Kejati NTB) menjalankan penyelidikan terhadap dugaan reklamasi laut di kawasan itu, sebuah tren yang menunjukkan bahwa persoalan ini telah mencapai panggung publik yang lebih besar.

Potensi Gili Gede memang menjanjikan, dengan akses yang relatif dekat dari daratan Lombok Barat, panorama laut yang indah, serta dukungan regulasi daerah melalui Peraturan Bupati Nomor 21 Tahun 2019 yang mengamanatkan penataan pariwisata secara terpadu dan berwawasan lingkungan.

Pihak pengembang mengajukan izin lokasi perairan pada 2019 untuk terminal khusus pariwisata (jetty) dan water bungalow.

Semua ini memberi gambaran bahwa kebutuhan ekspansi pariwisata memang sudah nyata. Namun, ketika proyek berkembang dan muncul aktivitas seperti pengurukan atau reklamasi pulau kecil seluas sekitar 4 are atau 400 meter persegi yang belum memiliki izin penuh, di situlah sinyal bahaya mulai tampak.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.