Muara Tae adalah contoh nyata penyelamat hutan yang diperlukan oleh dunia saat ini...."
Jakarta (ANTARA News) - Komunitas Adat Dayak Benuaq di Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur, mendapatkan penghargaan bergengsi, Equator Prize, sebagaimana diumumkan secara resmi oleh Badan Program Pembangunan PBB atau UNDP dalam konferensi pers di Sekretariat PBB di New York, AS, pada Senin (21/9) waktu setempat.

Komunitas Adat Muara Tae mendapatkan Equator Prize atas upaya mereka dalam mempertahankan, melindungi dan memulihkan hutan dan wilayah adat mereka yang masih tersisa, dari gempuran logging, tambang, dan perkebunan sawit. "Muara Tae adalah contoh nyata penyelamat hutan yang diperlukan oleh dunia saat ini. Upaya seperti ini yang harus mendapatkan dukungan dari dunia internasional dan khususnya perlindungan oleh Negara," kata Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan, dalam keterangan persnya, Selasa.

Ia menyebutkan bahwa masyarakat Adat di Muara Tae berupaya sekuat tenaga menjaga hutan adat mereka dengan menghadang buldozer perusahaan, dan sejak 2011 mendirikan Pondok Jaga dan melakukan berbagai pembibitan dan penanaman pohon. Sejak 20 tahun terakhir Muara Tae telah kehilangan lebih dari separuh lahan dan hutan mereka sejak 1971 oleh HPH, tambang, dan sawit.

Kehadiran perusahaan-perusahaan telah menyebabkan Masyarakat Adat di Muara Tae kehilangan sumber-sumber penghidupan mereka. Sumber-sumber air menjadi kering dan kini mereka harus berjalan satu kilometer untuk mendapatkan air bersih.

"Penghargaan ini adalah bukti perjuangan Masyarakat Adat Muara Tae tidak salah, bahkan menjadi tauladan. Tuduhan bahwa mereka menghambat pembangunan ternyata tidak terbukti," kata pemimpin perjuangan Masyarakat Adat Muara Tae, Petrus Asuy.

Sejak awal, lanjutnya, Muara Tae tidak pernah menyerahkan wilayah adat mereka kepada perusahaan-perusahaan tersebut dan melakukan perlawanan.

Dalam perjuangan panjang perlawanan tersebut, Muara Tae mengalami berbagai bentuk kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi.

Di samping berhadapan dengan perusahaan, mereka juga harus berhadapan dengan pihak pemerintah yang mendukung perusahaan, bahkan dengan komunitas yang berbatasan dengan mereka sebagai akibat dari strategi perusahaan untuk mengambil wilayah adat mereka melalui tangan lain.

Muara Tae berjuang di berbagai level, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional, dengan melaporkan kasus ini kepada Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Muara Tae juga menyampaikan kasus ini dalam Inkuiri Nasional yang diadakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Muara Tae menargetkan untuk merehabilitasi 700 Ha wilayah adat mereka yang telah rusak. Mereka juga melakukan pemetaan wilayah adat dan mengidentifikasi keanekaragaman hayati yang ada di hutan adat mereka.

Tahun lalu, Muara Tae melakukan Ritual Adat Gugug Tautn selama 64 hari, sebagai upaya untuk mengembalikan keseimbangan lingkungan, menenangkan leluhur dan berdamai dengan alam.

Kini hutan yang tersisa merupakan rumah dari sejumlah besar jenis burung, termasuk burung Enggang yang erat kaitannya dengan budaya dan adat suku Dayak di Kalimantan.

Terdapat sekitar 20 spesies reptil dan hutan tersebut, yang juga menjadi habitat dari beruang madu dan Bekantan. Demikian pula berbagai macam tanaman herba untuk pengobatan dan ritual ada seperti akar kayu kuning hingga jenis kayu seperti Ulin, Gaharu dan Meranti.

Penghargaan Equator Prize merupakan suatu penghargaan yang diberikan kepada Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal yang berupaya memerangi kemiskinan, melindungi alam dan memperkuat ketahanan dari perubahan iklim.

"Banyak orang berpikir bahwa penyebab deforestasi sangat kompleks. Masyarakat Adat di Muara Tae menunjukkan bahwa solusinya sangat sederhana, yaitu kita harus mendukung Masyarakat seperti Muara Tae, yang selama ini tetap berjuang melindungi tanah adat mereka," ujar Campaigner Environmental Investigation Agency (EIA), Tomasz Johnson, yang selama ini ikut mendukung perjuangan Muara Tae.

Pewarta: Monalisa
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015