Kami terus dorong pemerintah membuat kebijakan yang atraktif dan implementatif untuk pajak. Pemerintah ingin mendorong properti, tetapi kebijakan lainnya tidak searah dengan kebijakan atasnya,"
Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Keuangan diminta membuat kebijakan yang atraktif dan implementatif terkait pajak, khususnya di bidang properti agar bidang tersebut berkembang sesuai harapan pemerintah.

"Kami terus dorong pemerintah membuat kebijakan yang atraktif dan implementatif untuk pajak. Pemerintah ingin mendorong properti, tetapi kebijakan lainnya tidak searah dengan kebijakan atasnya," tutur Wakil Ketua Komisi XI DPR Jon Erizal dalam diskusi dengan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) di Jakarta, Selasa.

Menurut Jon Erizal, dalam kondisi perekonomian yang sedang melambat, pemerintah sebaiknya memiliki siasat yang tepat, terutama menyangkut undang-undang dan peraturan agar dapat menggerakkan perekonomian nasional.

Senada dengan Jon Erizal, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (Cita) Yustinus Prastowo menuturkan pemerintah sebaiknya memiliki kebijakan turunan yang konkret agar tujuan kebijakan di atas sampai hingga ke bawah.

"Diperlukan kebijalan turunan yang konkret, kalau tidak kebijakan menjadi pepesan kosong dan momentumnya hilang, yang dikhawatirkan menjadi turbulen menuju ekuilibrium baru," kata Yustinus.

Dengan begitu, ujar dia, terdapat harmonisasi peraturan perpajakan dari pusat dan daerah sehingga pelaksanaannya tidak membingungkan pelaku usaha properti.

Selain itu, ia meminta pemerintah menggunakan data yang empiris dalam menentukan kebijakan perpajakan.

"Pajak properti paling kompleks dan butuh formulasi yang bagus karena banyak pihak yang akan terdampak dengan peraturan itu," ujar Yustinus.

Sementara itu, Ketua Hipmi Tax Center Ajib Hamdani menilai peraturan pajak properti sangat penting karena secara tidak langsung negara punya saham minimal 10 sampai dengan 45 persen yang terdiri atas PPh final sebesar lima persen, BPHTB lima persen, PPN 10 persen, PPh Pasal 22 lima persen dan PPnBM 20 persen.

Ajib berpendapat, paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, termasuk pajak properti, seharusnya untuk menstimulus pelambatan ekonomi.

"Kita tahu bahwa paket ketiga paket kebijakan ekonomi adalah tentang mendorong properti. Akan tetapi regulasi terkait PPnBM ini menimbulkan kebingungan di masyarakat terkait dengan batasannya apakah Rp5 miliar, Rp10 miliar atau Rp2 miliar dan kapan revisi perubahan batasan akan diberlakukan," tutur Ajib.

Kategori properti mewah dalam aturan PPnBM dan sangat mewah dalam aturan PPh Pasal 22 berbeda. PPh Pasal 22 memungut pajak atas penghasilan pembeli properti yang tergolong mewah sebesar lima persen dengan batasan harga jual minimal Rp5 miliar.

Sedangkan aturan PPnBM memungut pajak atas properti sebesar 20 persen dengan atas harga jual properti mewah yang menjadi objek pengenaan PPnBM mulai Rp10 miliar ke atas.

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015