Diplomasi yang berpihak pada pekerja migran bukan lagi pilihan moral, melainkan kebutuhan strategis negara dalam menjaga martabat dan posisi tawar bangsa

Jakarta (ANTARA) - Diplomasi perlindungan bagi pekerja migran Indonesia adalah cermin sejauh mana negara hadir dan berdaulat dalam menjaga warganya di kancah global.

Di balik keberangkatan puluhan ribu warga negara Indonesia ke luar negeri setiap tahun, tersimpan potret kompleks tentang ketimpangan ekonomi, keterbatasan lapangan kerja, dan impian akan kehidupan yang lebih layak.

Di saat yang sama, juga tersimpan kisah getir mengenai eksploitasi, perdagangan manusia, dan pelanggaran hak asasi yang menuntut keberanian politik untuk membangun sistem perlindungan yang kokoh.

Dalam konteks inilah kunjungan Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI ke Universitas Pelita Harapan (UPH) menjadi penting, bukan semata sebagai seremoni dialog, tetapi sebagai langkah strategis memperkuat diplomasi perlindungan berbasis pengetahuan dan kolaborasi.

Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat sebanyak 22.376 warga Indonesia bekerja di luar negeri hanya dalam kurun waktu tiga bulan pertama tahun 2025.

Angka ini menandakan bahwa arus mobilitas tenaga kerja lintas negara tetap tinggi, bahkan meningkat seiring tuntutan ekonomi domestik. Namun, banyak dari mereka yang belum terlindungi secara hukum dan sosial.

Persoalan seperti kerja paksa, upah tidak dibayar, kekerasan, hingga kasus hukum sering kali muncul karena lemahnya sistem perlindungan di dalam negeri maupun di negara tujuan.

Diplomasi yang berpihak pada pekerja migran bukan lagi pilihan moral, melainkan kebutuhan strategis negara dalam menjaga martabat dan posisi tawar bangsa.

Pertemuan antara BKSAP DPR RI dan civitas academica UPH menjadi ruang penting untuk membangun kesadaran baru tentang diplomasi perlindungan.

Ketua Delegasi BKSAP, Bramantyo Suwondo, menegaskan bahwa diplomasi parlemen harus menjadi instrumen nyata kehadiran negara bagi warganya di luar negeri.

Ia menyadari bahwa tanpa landasan riset dan masukan akademik, kebijakan luar negeri sering kali hanya bersifat responsif, bukan solutif. Di sinilah kontribusi perguruan tinggi menjadi signifikan menghadirkan nalar kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) yang memperkuat legitimasi dan arah diplomasi Indonesia.

Baca juga: KP2MI gandeng kampus tingkatkan vokasi, kualitas pekerja migran

Baca juga: DPR ajak masyarakat kenali tugas diplomasi parlemen

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.