Dalam dunia logistik, bijak berarti mendengarkan suara mereka yang setiap hari menjaga roda ekonomi tetap berputar, di bawah terik matahari dan di atas aspal panjang yang tak pernah sepi

Jakarta (ANTARA) - Di negeri kepulauan seperti Indonesia, denyut ekonomi tidak hanya terdengar di bursa saham atau gedung kementerian, tetapi juga di jalan raya.

Termasuk di setiap truk yang melintas membawa lebih dari sekadar muatan dan mengangkut harapan berikut keseimbangan harga di pasar-pasar dari Sabang sampai Merauke.

Jalan raya pun ibarat urat nadi ekonomi yang tak pernah tidur. Dari Demak mengalir beras, dari Gresik melaju semen, dan dari Tanjung Priok menembus truk-truk pembawa bahan bakar menuju pelosok desa.

Dalam dentum mesin dan panas aspal yang membara, para sopir itu menunaikan peran yang tak tercatat di podium ekonomi, tetapi justru menjadi fondasi paling nyata dari keberlangsungan bangsa.

Namun di tengah arus kendaraan yang seolah teratur itu, muncul gelombang kegelisahan. Negeri ini sedang menata ulang arah logistiknya, tetapi di lapangan banyak yang merasa arah itu ditentukan dari atas tanpa sempat mendengar napas mereka yang setiap hari menghidupinya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengungkapkan bahwa pengusaha truk kini berada di persimpangan sulit. “Kami tidak menolak perubahan,” ujarnya dengan nada tenang, “tapi kebijakan yang dibuat seharusnya menyeluruh, bukan tebang pilih.”

Ia menyinggung program penertiban Over Dimension and Over Loading (ODOL) yang niatnya baik, tetapi pelaksanaannya pincang. Sebagian ditindak, sebagian luput, sementara di balik setiap truk yang kelebihan muatan ada tekanan dari pemilik barang yang ingin menekan biaya logistik.

Di titik itulah, operator truk kehilangan posisi tawar. “Program pemberantasan ODOL belum berhasil, dan justru berpotensi sangat merugikan operator trucking,” kataGemilang Tarigan.

Dalam kalimatnya terselip kelelahan panjang para pelaku transportasi yang merasa kebijakan hadir tanpa ruang dialog.

Pandangan serupa datang dari Wasekjen Aptrindo Agus Pratiknyo, yang mengibaratkan persoalan ODOL seperti penyakit kolesterol. “Tidak bisa langsung dihapus, tapi harus dikendalikan pelan-pelan,” ujarnya.

Analogi itu sederhana namun jernih bahwa tubuh ekonomi Indonesia tidak bisa disembuhkan dengan terapi kejut. Jika kadar muatan harus dikendalikan, maka harus ada tahapan, penyesuaian, dan kesiapan infrastruktur yang memadai.

Jika tidak, penertiban justru bisa menimbulkan “rasa sakit” baru di sektor lain, biaya distribusi naik, barang terlambat, dan harga di pasar melonjak.

Kenaikan biaya logistik akibat gangguan transportasi inilah yang sering kali menjadi pemicu fluktuasi harga dan inflasi. Ketika satu rantai distribusi terganggu, biaya bahan bakar, tarif pelabuhan, hingga ongkos sewa truk bisa meningkat signifikan.

Pada akhirnya, biaya tambahan itu tidak berhenti di jalan tapi mengalir ke rak-rak pasar dan lembar belanja rumah tangga. Inflasi yang semula bersumber dari logistik menyentuh seluruh sendi kehidupan dari pangan, bahan bangunan, hingga kebutuhan pokok harian.

Satu kebijakan yang terburu-buru di sektor transportasi bisa mengguncang kestabilan harga di banyak daerah. Ketika ongkos kirim beras dari Jawa Timur ke Kalimantan naik, misalnya, harga eceran beras di pasar tradisional akan ikut terdorong.

Dan di tengah situasi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih, gejolak semacam itu bisa menekan daya beli masyarakat sekaligus memperlambat pertumbuhan.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.