Saat tubuh bergerak, otak mereka pun ikut tumbuh; saat tertawa bersama, jiwanya belajar menyatu. Tak ada algoritma yang bisa menggantikan pengalaman itu.
Jakarta (ANTARA) - Di tengah gegap gempita membangun masa depan digital, kita kerap lupa memastikan apakah anak-anak masih punya masa kecil yang utuh?
Anak-anak kita tertawa tanpa teman. Suara riuh yang dulu menggema di halaman, kini berganti dengan dengung kipas gawai dan cahaya layar yang jarang jeda.
Masa kecil, yang seharusnya penuh debu, peluh, dan teriakan “lagi!...lagi!”, kini dikemas dalam bentuk level, poin, dan notifikasi.
Dunia digital menjanjikan keasyikan tanpa batas, tapi diam-diam menelan keriangan yang dulu terasa sederhana tapi begitu manusiawi.
Ironisnya, di tengah kehilangan itu, justru di berbagai forum resmi, industri gim sering dielu-elukan sebagai bukti kemajuan bangsa.
E-sport dijadikan simbol prestasi, bukan lagi sekadar permainan. Program pelatihan dan festival digital digencarkan dengan semangat nyaris heroik, seolah layar adalah medan juang baru bagi generasi muda.
Tak keliru memang, sebab ekonomi kreatif perlu tumbuh. Namun, di antara gemerlap jargon digital, acap terlupa bahwa anak-anak bukan basis pengguna, mereka manusia kecil yang masih butuh tanah untuk berlari dan teman untuk tertawa.
Kita hidup di zaman yang menukar ruang bermain dengan ruang daring. Halaman menjadi parkiran, lapangan jadi bangunan, dan interaksi berubah jadi koneksi.
Sementara kebijakan yang seharusnya menjaga keseimbangan justru ikut arus pasar dengan memuja profit dan melupakan makna. Seakan-akan, masa depan bangsa bisa diunduh, cukup dengan paket data dan sinyal kuat.
Baca juga: Menggeser kecanduan gawai lewat aktivitas "dolanan" anak di Cirebon
Baca juga: Menteri Arifah ajak anak-anak gunakan gawai hanya untuk hal positif
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.