Jakarta (ANTARA News) - Dermaga di kawasan muara sungai Moro yang rencananya bakal jadi pelabuhan perikanan di Kabupaten Merauke, Papua itu disandari deretan kapal-kapal berukuran besar dengan kapasitas angkut sekitar 200-an Gross Tonnage (GT).

Namun kapal-kapal ini hanyalah besi tua sitaan beberapa bulan silam milik PT Sino Indonesia Shunlida Fishing dari Tiongkok yang tidak bisa lagi merampok ikan di perairan Papua.

Kapal lain yang sering datang bersandar di dermaga Jalan Nowari yang mengarah ke Laut Arafura itu adalah kapal tongkang pengangkut bahan material untuk memperluas dermaga tersebut.

Selain itu, sebuah kapal pengangkut ikan 70 GT milik Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perindo) yang membawa ikan hasil tangkapan nelayan di sekitar wilayah Merauke, datang sekali saja dalam 10 hari.

Dermaga berkonstruksi beton setengah jadi ini memang sepi, tidak ada kapal nelayan kecil yang datang, meskipun sebenarnya tercatat ada lebih dari 350 kapal ikan ukuran kecil hingga 30 GT di Kabupaten Merauke pada 2015.

Menurut Kepala Bidang Ekonomi Bappeda Kabupaten Merauke, Mike Talubun, dermaga yang telah dibangun tiang pancangnya pada 2009 itu memang tidak bisa digunakan untuk kapal nelayan yang kecil-kecil karena tingginya dermaga.

Dermaga berkapasitas 2.000 GT dan masih terus dibangun dengan anggaran Rp50 miliar itu tidak jauh dari pelabuhan Merauke yang selama ini multi-fungsi sebagai pelabuhan kapal penumpang, bongkar-muat barang sekaligus pelabuhan perikanan.

"Dermaga di Nowari ini rencananya dikhususkan sebagai pelabuhan perikanan. Sekarang panjangnya sekitar 150 meter, tapi akan ditambah 300 meter. Kami juga menyediakan 20 ha lahan untuk sarana pendukung. Ini tanda kami serius," kata Mike.

Terintegrasi
Merauke, menurut Direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Subandono Diposaptono, adalah kawasan perbatasan yang akan dikembangkan menjadi model pusat kegiatan kelautan dan perikanan terintegrasi.

Program Pengembangan Kawasan Kelautan dan Perikanan Terintegrasi (PK2PT) selain di Merauke juga akan diaplikasikan di Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh, Kabupaten Natuna di Kepulauan Riau, Kabupaten Maluku Tenggara Barat Maluku dan Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud Sulawesi Utara.

Laut Arafura di lepas pantai Merauke memang merupakan "fishing ground" terbaik kedua di dunia, setelah Afrika Selatan dan menyebabkan perairan ini menjadi surga bagi para pengusaha perikanan di dunia.

Dalam kunjungannya ke Merauke, Subandono ingin memastikan bahwa dermaga yang sedang dibangun dan akan dikembangkan sebagai kawasan kelautan dan perikanan terintegrasi itu akan benar-benar mampu meningkatkan perekonomian kawasan dan bermanfaat bagi nelayan setempat.

"Apa yang dibangun ini harus bermanfaat, tidak boleh mangkrak. Bagaimana caranya? Harus terintegrasi dengan memperhitungkan berbagai aspek," ujarnya pada pertemuan dengan para pejabat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Merauke.

Aspek-aspek tersebut yakni bagaimana kondisi dermaga dan lingkungannya, sarana dan prasarananya, kelembagaannya, sumber daya manusianya, pasarnya, dan regulasinya, ujarnya.

Kondisi lingkungan, menurut Subandono, sangat penting dalam perencanaan pelabuhan, misalnya bagaimana tinggi muka laut antara saat pasang dan surut yang menjadi faktor penting agar suatu dermaga bisa disandari baik kapal kecil maupun besar.

"Solusinya bisa berupa tangga dermaga atau dermaga apung, supaya kapal kecil juga bisa bersandar. Jangan hanya yang besar," katanya.

Ia juga menanyakan bagaimana infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, solar packed dealer nelayan (SPDN) dan air bersih untuk calon pelabuhan perikanan samudera tersebut.

Penjabat Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Kabupaten Merauke Martha Bayu Wijaya mengatakan, jalan sudah cukup memadai, termasuk listrik yang jaringannya sudah sampai ke pelabuhan untuk penerangan dermaga, meskipun untuk sementara ini trafo yang terbakar belum diperbaiki.

Sedangkan tempat pengisian solar, menurut dia, SPDN terdekat ada di lokasi yang jaraknya 4 km dari dermaga, karena itu perlu dibangun SPDN di dalam komplek dermaga dengan kapasitas sesuai kebutuhan 20 ton per hari.

Sementara itu, air bersih selama ini masih dikirim melalui truk karena instalasi air bersih berkapasitas 24 ribu liter dengan teknologi reverse osmosis masih dalam proses pembangunan.

Hulu-hilir
Dalam kesempatan itu Subandono juga mengunjungi berbagai sarana dan prasarana lainnya seperti "cold storage" untuk mempertahankan kesegaran ikan, unit pengolahan ikan, rumah kemasan dan pasar ikan karena KKP menginginkan pelabuhan perikanan ini menangani perikanan dari hulu ke hilir.

"Ikan yang diperoleh di perairan Papua harus diolah di sini juga sebelum diangkut ke kota-kota besar lainnya atau diekspor," katanya sambil menyayangkan sejumlah sarana yang sudah rusak sebelum digunakan.

KKP juga menginventarisasi kapal-kapal penangkap ikan yang ada di Merauke untuk menentukan berapa kebutuhan kapal pengangkut yang bisa membawa ikan hasil tangkapan dan olahan nelayan Merauke ke kota-kota besar.

Kapal-kapal milik nelayan lokal tercatat berukuran kecil-kecil, yakni untuk 11-30 GT sebanyak 70 kapal dan 5-10 GT sebanyak 85 kapal. Sedangkan kapal nelayan di bawah 5 GT diperkirakan sekitar 200 unit.

Sedangkan kapal-kapal besar merupakan kapal asing yang sekarang sudah teronggok, karena pemberlakuan moratorium penangkapan ikan oleh kapal asing, seperti 18 kapal berkapasitas rata-rata 200 GT milik PT Sino dari Tiongkok, mangkrak di beberapa dermaga di Merauke.

Ada lagi sembilan kapal milik Australia di bawah nama PT Tri Kusuma Graha juga mangkrak di Distrik Merauke dan 76 kapal Tiongkok dari PT Dwi Karya yang mangkrak di Distrik Waan, Kabupaten Merauke.

Dengan tidak beroperasinya kapal-kapal asing, menurut Mike Talubun, diharapkan jumlah tangkapan ikan dan penghasilan nelayan semakin besar.

"Hanya saja kapal angkutnya mengapa cuma satu yang dari Perindo itu. Sebab jika jumlah tangkapan nelayan semakin besar, maka dibutuhkan kapal angkut yang lebih banyak," ujar dia mempertanyakan.

Saat ini pihaknya sudah mendata 27 kelompok nelayan lokal dengan masing-masing terdiri dari 10 anggota yang membutuhkan kapal penangkap ikan ukuran 20-30 GT dan ditargetkan mampu mendapat 12 ton ikan per bulan yang siap menerima bantuan KKP.

"Para nelayan ini hanya menebar jala di pinggir pantai pada pagi hari dan menariknya pada sore hari, Mereka tidak melaut karena tidak punya perahu," katanya.

Namun Mike mengakui nelayan dari suku asli Merauke belum memiliki budaya setangguh nelayan pendatang dari Bugis dan cepat merasa puas dengan hasil yang sedikit, sehingga perlu adanya pelatihan.

Adanya rencana delapan kawasan pendukung perikanan tangkap dalam program PK2PT di empat distrik lain di kabupaten Merauke yakni Distrik Kimaam, Waan, Tabonji, dan Ilwayab yang tersebar, menurut Subandono, juga perlu dihitung-hitung lagi.

"Apakah akan membuat perikanan di Merauke semakin berkembang, atau malah membuat pelabuhan yang sudah dibangun sejak 2009 ini mangkrak sementara pembangunan dermaga-dermaga baru belum tentu berhasil dan berfungsi baik," katanya.

KKP, ujar Subandono, menginginkan PK2PT dapat meningkatkan perekonomian daerah dan kesejahteraan nelayan, meningkatkan konektivitas maritim nasional sekaligus membangun kedaulatan bangsa.

Oleh Dewanti Lestari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015