Luka di tebing Kelingking adalah disrupsi yang menghasilkan pelajaran. UU Kepariwisataan baru menyediakan kerangka hukum kokoh bertransformasi dari pariwisata kuantitas menuju kualitas.

Jakarta (ANTARA) - Bali menerima luka baru: kegagalan tata kelola visual.

Di Pantai Kelingking, Nusa Penida, di atas tebing kapur ikonik yang menyerupai kepala T-Rex, crane raksasa menjulang menancapkan besi dan beton sebagai simbol ambisi modernisasi.

Pembangunan lift kaca 182 meter, meskipun legal via Online Single Submission (OSS), adalah monumen patologi tata kelola pariwisata: mengorbankan kelestarian alam dan roh budaya demi keuntungan fisik semata.

Masalah Kelingking bukan sekadar isu investasi, melainkan cacat substansial dalam perencanaan makro yang gagal mengintegrasikan tiga pilar pembangunan berkelanjutan: lingkungan, ekonomi, dan sosial-budaya.

Kelingking manifestasi kegagalan sistemik tata kelola sumber daya. Proyek tersebut mereplikasi studi kasus 'Accumulation by Dispossession', sebagaimana dikritik oleh ahli geografi David Harvey. Aset komunal (tebing dan lanskap alam) dirampas atau diprivatisasi melalui proyek infrastruktur besar demi akumulasi modal swasta.

Logika keuntungan jangka pendek secara fundamental mengalahkan filosofi luhur Bali, Tri Hita Karana, yakni harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.

Pembangunan top-down sentralistik menghasilkan "luka visual di tubuh lanskap", mengkhianati esensi daya tarik pariwisata.

Pertanyaan mendasar muncul: mampukah kerangka regulasi pariwisata Indonesia memproteksi warisan alam dari ambisi infrastruktur berlebihan?

Jawabannya terinstitusionalisasi melalui regulasi baru. Namun, implementasinya menuntut pengujian integritas.

Saat Indonesia bergulat dengan trauma pembangunan Kelingking, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Regulasi baru tersebut, diwarnai semangat pariwisata berkualitas dan berkelanjutan, merespon substansi hampir semua kritik fundamental kasus kontroversial.

Momen ini strategis mengkaji luka Kelingking melalui lensa hukum dan filosofi pariwisata baru, sebab UU tersebut menjadi landasan etika dan legal memitigasi terulangnya anomali serupa.

Baca juga: Legislator: UU Kepariwisataan tandai perubahan pembangunan pariwisata

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.