Tunis (ANTARA News) - Kemenangan Empat Sekawan Perundingan Bangsa Tunisia atas Hadiah Nobel Perdamaian menjadi angin segar bagi perkembangan demokrasi, yang rapuh, akibat masalah parah keamanan, yang mengancam ekonomi negara tersebut.

Hadiah itu diterima hampir lima tahun setelah seorang pedagang kaki lima Tunisia putus asa lalu membakar diri dan memicu gelombang kerusuhan untuk menggulingkan pemerintah Zine El Abidine Ben Ali dan mengilhami pemberontakan di seluruh wilayah tersebut.

Nobel Perdamaian dianugerahkan untuk empat sekawan lembaga masyarakat, yang terdiri atas Serikat Buruh Umum Tunisia (UGTT), Konfederasi Industri, Perdagangan dan Kerajinan Tunisia (UTICA), Liga Hak Asasi Tunisia (LTDH), serta Orde Pengacara Tunisia.

Pada Jumat, tokoh utama lembaga tersebut, juga dari seluruh dunia, memberikan penghormatan kepada satu-satunya gerakan peralihan yang berhasil, Kebangkitan Arab.

Namun, mereka juga menekankan tantangan keamanan dan ekonomi, yang dihadapi bangsa Afrika Utara, yang ditanggapi Presiden Beji Caid Essebsi dengan seruan persatuan.

"Kita tidak bisa menang perang melawan terorisme kecuali bersatu," kata presiden itu, yang terpilih pasca-pemberontakan pada 2014.

"Saya rasa pembicaraan, kerja sama antarlembaga masyarakat adalah satu-satunya senjata, yang berpeluang melawan terorisme," kata Kepala Liga Hak Asasi Tunisia (LTDH), Abdelsatar Ben Moussa.

Pemerintah berturut-turut sejak 2011--termasuk salah satu yang dipimpin oleh Partai Islam Ennahda--gagal mengatasi peningkatan ekstremisme yang telah merenggut nyawa puluhan turis dan para anggota pasukan keamanan.

Pada tahun ini, negara tersebut terguncang dengan serangan terhadap wisatawan asing, yang mengunjungi Museum Nasional Bardo di ibu kota pada Maret, dan pembantaian di pantai dekat Kota Sousse pada Juni.

Keamanan Utama

Serangan yang diklaim oleh kelompok IS tersebut mengakibatkan 22 orang tewas dan 38 lagi meninggal berturut-turut.

Ahli PBB mengatakan ratusan warga Tunisia berjuang pada jajaran kelompok jihad luar negeri.

Pada Juli, setelah pembantaian di Sousse, status darurat yang pernah diterapkan pada Januari 2011 hingga Maret 2014, kembali diberlakukan.

Langkah yang memberikan kekuasaan khusus kepada polisi dan tentara itu dikritik telah mengekang kebebasan publik sehingga pada 2 Oktober lalu, kebijakan tersebut dicabut.

Menurut Kementerian Dalam Negeri Tunisia, sebanyak 20 markas teroris telah dibongkar sejak Maret.

Tunisia sendiri sedang membangun dinding di sepanjang perbatasan dengan Libya, dimana ISIS menunjukkan eksistensinya di tengah kekacauan menyusul revolusi 2011 yang menggulingkan Moamer Kadhafi.

Sekutu Tunisia yang dipimpin oleh AS dan Prancis, menyatakan mereka akan meningkatkan kerja sama dengan negara tersebut.

Tunisia menjadi sekutu utama bukan NATO Washington dan Paris mengumumkan program senilai 20 juta euro untuk mendukung pasukan khusus serta jasa intelijen bagi negara itu.

Namun, bahaya masih mengancam.

Pada bulan lalu, jalan utama ibu kota Habib Bourguiba ditutup selama beberapa hari karena ancaman keamanan.

Pada Kamis, seorang anggota parlemen dari partai sekuler Nidaa Tounes, Ridha Charfeddine menjadi target ancaman pembunuhan di Sousse. Ancaman itu telah menghidupkan kembali ingatan pembunuhan terhadap anggota oposisi sayap kiri Chokri Belaid dan Mohamed Brahmi yang terjadi pada 2013.

Pembunuhan keduanya mengulur-ulur proses politik yang mampu diatasi oleh kelompok Dialog Nasional.

Teori Pembunuhan

Perbedaan teori tentang siapa sesungguhnya dalang pembunuhan yang diklaim oleh kelompok jihad terkait ISIS, mengungkap keretakan masyarakat yang selama empat tahun menghadapi kesengsaraan ekonomi di Tunisia.

Bidang utama pariwisata menurun karena pengaruh kerusuhan itu.

Jumlah kunjungan wisatawan Eropa berkurang separuhnya sejak Januari dan sederet hotel internasional tutup selama musim dingin.

"Sebuah Hadiah Nobel Perdamaian untuk Tunisia... Bagaimana jika itu adalah awal baru?", demikian pertanyaan koran maya "La Presse" kepada pembacanya pada Jumat.

Sementara itu, Presiden Konfederasi Industri, Perdagangan dan Kerajinan Tunisia (UTICA) Wided Bouchamaoui menyatakan hadiah tersebut menjadi berita baik bagi Tunisia.

Pemerintah Tunisia sendiri mengharapkan pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai lima persen pada 2020, namun pada 2015 pertumbuhannya tidak sampai satu persen.

Pemogokan yang dilakukan para guru dan pekerja transportasi menjadi keprihatinan pada awal tahun ajaran baru. Untuk itu, dua pemenang hadiah Nobel yaitu UGTT dan UTICA sedang sibuk menegosiasikan peningkatan pendapatan untuk sektor swasta.

Pada pekan depan, Uni Eropa dan Tunisia akan membahas kesepakatan perdagangan bebas.

"Itu tanda bahwa kami mendukung mereka dalam keadaan rapuh seperti sekarang," kata komisioner perdagangan Uni Eropa, Cecilia Malmstrom kepada AFP.

(Uu.Y013/B002)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015