Hasil temuan dari hakim Mahkamah Konstitusi (MK) adanya kemungkinan tanda tangan palsu sudah ditindaklanjuti Polri,"
Jakarta (ANTARA News) - Penyidik Mabes Polri menelusuri dugaan pemalsuan paraf atau tanda tangan pengacara pemohon uji materi kewenangan penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).

"Hasil temuan dari hakim Mahkamah Konstitusi (MK) adanya kemungkinan tanda tangan palsu sudah ditindaklanjuti Polri," kata Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Inspektur Jenderal Polisi Condro Kirono di Jakarta, Selasa.

Condro menuturkan penyidik kepolisian masih mendalami temuan pemalsuan tanda tangan itu pada tingkat penyelidikan.

Namun jenderal polisi bintang dua itu menegaskan tidak menutup kemungkinan proses tersebut akan ditingkatkan ke tahap penyidikan.

"Masih dalam proses nanti akan dilaporkan ke MK," ujar Condro.

Condro mengungkapkan penyidik kepolisian akan meminta keterangan lima saksi pada Kamis (15/10) dan delapan saksi pada Jumat (16/10).

Sebelumnya, hakim MK Maria Farida Indrati menduga adanya tanda tangan yang berbeda pada dokumen permohonan uji materi UU Polri dan UU LLAJ.

Hakim Konstitusi Maria mencurigai tanda tangan kuasa hukum pada dokumen permohonan uji materi dilakukan seorang.

Ketua Hakim Panel Konstitusi Arief Hidayat meminta Polri menyelidiki keaslian tanda tangan tersebut.

Arief menyatakan pemalsuan tanda tangan termasuk tindak pidana yang tidak berdasarkan delik aduan sehingga Polri dapat langsung menangani dugaan itu.

Sebelumnya, seorang warga negara bernama Alissa Q Munawaroh Rahman dan Hari Kurniawan mempermasalahkan kewenangan kepolisian menerbitkan SIM, STNK dan BPKB dengan mengajukan permohonan uji materi ke MK.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Malang Corruption Watch, dan Pemuda Muhammadiyah turut mengajukan uji materi UU tentang lalu lintas tersebut ke MK.

Beberapa butir pasal yang diujimaterikan yakni Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf c UU Polri serta Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 88 UU LLAJ.

Para pemohon menganggap kebijakan Polri menerbitkan SIM, STNK dan BPKB bertentangan dengan Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan polisi sebagai alat keamanan negara yang bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat.

Pemohon juga menilai kepolisian tidak berwenang mengurus administrasi penerbitan SIM, STNK dan BPKB namun hanya sebatas mengamankan dan menertibkan masyarakat.

Pewarta: Taufik Ridwan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015