Bengkulu (ANTARA News) - Direktur Yayasan Pusat Pendidikan dan Pemberdayaan Untuk Perempuan dan Anak (Pupa) Bengkulu, Susi Handayani, mendorong remaja untuk berani melawan kekerasan fisik dan seksual yang dialaminya.

"Salah satu upaya mencegah kekerasan anak adalah pemerataan akses kesehatan reproduksi dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan," kata perempuan kelahiran Palembang pada Juni 1974 itu di Bengkulu, Jumat.

Kasus kekerasan fisik dan seksual yang terus meningkat di Bengkulu, membuatnya merancang program "Kenali Tubuhmu" yakni kegiatan diskusi tentang fungsi reproduksi yang menyasar anak-anak dan remaja.

"Pengenalan kesehatan reproduksi sejak usia dini penting agar mereka mengetahui semua konsekuensi yang berkaitan dengan organ reproduksi," katanya.

Program "Kenali Tubuhmu" menyasar empat sekolah rintisan yakni SD Negeri 36, SMP Negeri 12, SMA Negeri 2 dan Sekolah Luar Biasa (SLB) Kota Bengkulu.

Meski baru setahun berjalan, diskusi bersama pelajar-pelajar itu telah memberikan gambaran bahwa beberapa anak-anak telah melakukan tindakan yang mengarah pada pelecehan seksual pada teman perempuan mereka.

Namun, korban tidak tahu bahwa tindakan tersebut adalah salah sehingga harus dilaporkan. Selain itu, mereka juga tidak tahu kemana harus melapor.

"Kami sedang mengupayakan kerja sama dengan pihak sekolah untuk merumuskan mekanisme pengaduan dalam rangka perlindungan anak di sekolah," ucapnya.

Mereka juga menghubungkan berbagai pihak di luar institusi sekolah yang dapat membantu dalam proses rujukan pelayanan lanjutan.

Menurut dia, korban kekerasan seksual maupun fisik pada umumnya akan mengalami gangguan psikis sehingga mereka membutuhkan pemulihan dengan layanan konseling.

Yayasan Pupa pada tahun ini mendampingi 28 kasus kekerasan pada anak dan perempuan. Pendampingan yang diberikan mulai dari advokasi hukum hingga pemulihan psikis.

Sebelum merancang diskusi "Kenali Tubuhmu", Pupa sudah terlebih dahulu menjalankan program Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIKR) yang menyasar pelajar sekolah menengah tingkat atas.

Mekanismenya, anggota PIKR menerima cerita atau curahan hati para remaja dan mendiskusikan jalan keluarnya.

"Bahan diskusi bisa berkembang ke persoalan di luar sekolah, bisa masalah keluarga atau persoalan pribadi lainnya," katanya.

Beberapa persoalan tersebut dapat diselesaikan sendiri oleh pelajar dan tidak jarang anggota PIKR juga membutuhkan pihak lain untuk turut membantu.

Susi mengatakan kekerasan seksual dalam relasi keluarga atau "incest" di daerah ini juga semakin mengkhawatirkan.

Data Pupa menyebutkan ada 28 kasus incest dari 41 kasus kekerasan seksual terhadap anak pada 2014.

"Sebagian besar pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat korban dan ini yang membuat miris," ujarnya.

Selain membuat program pencegahan kekerasan seksual sejak usia dini, dia menambahkan, kepedulian dan peran serta masyarakat juga sangat penting untuk menanggulangi permasalahan sosial ini.

Pewarta: Helti Sipayung
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015