Frankfurt (ANTARA News) - Cukup khusus bagi seorang jurnalis jika dia diwawancarai jurnalis lain, alias dia menjadi nara sumber. Dia yang dimaksud itu wartawan Tempo, juga pengarang buku berjudul Pulang, yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, yang sudah memasuki cetakan kelima, dan diterjemahkan ke bahasa Jerman.

Dia itu adalah Leila M Chudori, puteri jurnalis senior Kantor Berita ANTARA, M Chudori, yang ditemui di sela-sela kesibukan di pameran buku tertua di Frankfurt, Minggu. 

Di sela Frankfurt Book Fair di mana Indonesia menjadi tamu kehormatan, Leila senang mendapat kehormatan duduk di sofa biru alias das blaue sofa.

Di sofa biru, Leila menjadi tamu kenormatan dan diwawancarai seputar Pulang yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, Heimkehr nach Jakarta, dengan moderator Susanne Biedenkopf.

"Saya tidak tahu tentang sofa biru," ujar Leila. Duduk di sofa biru untuk diskusi dan diwawancarai oleh media televisi Jerman merupakan forum yang sangat prestesius dalam sejarah penyelenggaraan Frankfurt book Fair.

Leila berkata, Pulang bercerita tentang kisah mantan pelajar yang dikirim oleh Soekarno untuk belajar keluar negeri. Pada dasawarsa '50-an hingga '60-an, banyak mahasiswa Indonesia dikirim Soekarno keluar negeri untuk belajar banyak hal, di antaranya teknologi roket dan nuklir; padahal Indonesia baru saja merdeka. 

Kebanyakan mereka dikirim ke negara sosialis-komunis, yaitu Uni Soviet, Polandia, Cekoslovakia, Rumania, Jerman Timur, Bulgaria, dan lain-lain. 

Dalam Pulang, Leila menarik garis linier antara tiga peristiwa bersejarah: G-30-S/PKI pada 1965 di Indonesia, revolusi mahasiswa di Paris, Prancis, pada Mei 1968, dan tragedi kerusuhan Mei 1998 yang menandai keruntuhan rezim Orde Baru di Indonesia.

Pulang adalah kisah suka-duka para eksil politik yang melarikan diri ke luar negeri karena sudah diharamkan menginjak Tanah Air sendiri. 

Empat pria yang menyebut diri mereka Empat Pilar Tanah Air: Nugroho, Tjai, Risjaf, dan Dimas Suryo melarikan diri dari Indonesia dan luntang-lantung di Kuba, China, dan Eropa sampai akhirnya memutuskan menetap di Paris. 

Banyak juga di antara mereka yang tidak punya dokumen kewarganegaraan karena dokumen-dokumen itu ditahan otoritas Indonesia. Mereka tidak berkewarganegaraan di sana dan itu bukan kondisi yang baik. 

Melalui surat-menyurat dan telegram, mereka terus memantau teman-teman di Indonesia yang harus menderita karena dikejar dan diinterogasi aparat. Kabar salah satu rekan karib mereka, Hananto Prawiro, ditangkap setelah bersembuyi beberapa waktu membuat mereka bersedih hati.

Leila yang sejak 1989 hingga kini bekerja sebagai wartawan majalah berita Tempo terpilih mewakili Indonesia mendapat beasiswa menempuh pendidikan di Lester B Pearson College of the Pacific (United World Colleges) di Victoria, Kanada.

Lulus sarjana Political Science dan Comparative Development Studies dari Universitas Trent, Kanada. Leila dipercayakan meliput masalah internasional terutama Filipina dan berhasil mewawancarai Presiden Cory Aquino di Istana Malacanang; Fang Lizhi seorang ahli Fisika dan salah satu pemimpin gerakan Tiannamen, Cina, WWC di Cambrige University pada tahun 1992,

Leila pun pernah mewawancarai Presiden Fidel Ramos di Manila , Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad di Jakarta, Pemimpin PLO Yasser Arafat, Nelson Mandela dan Pemimpin Mozambique Robert Mugabe. 

Kini Leila adalah redaktur senior majalah Tempo, bertanggung-jawab pada rubrik Bahasa dan masih rutin menulis resensi film di majalah tersebut.

Oleh Zeynita Gibbons dan Zita Meirina
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015