Jakarta (ANTARA News)  – Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri menjadi babak baru dalam sejarah umat Islam Indonesia, kata Menag Lukman Hakim Saifuddin.

"Mulai hari ini, setiap tahun ke depan, kita akan memperingati Hari Santri yang merupakan cermin relasi mutual dan fungsional antara negara dan umat Islam, khususnya kalangan santri," kata Menag dalam sambutannya pada acara Deklarasi Hari Santri Nasional di Masjid Istiqlal Jakarta, Kamis.

Laman kemenag.go.id, menyebutkan, selama ini kalender pemerintah yang menggunakan hitungan Masehi selalu mencantumkan tanggal merah ketika bertepatan dengan 1 Hijriyah sebagai Tahun Baru Islam.

Tanggal itu memperingati peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW yang mempertemukan dua kelompok umat Islam, kaum muhajirin dari Mekkah dan kaum anshar sebagai penghuni Madinah. Menurut Menag, penduduk Madinah atau kaum anshar tidak mempersoalkan momentum itu disebut Hijriyah yang identik dengan kaum muhajirin. 
"Sebaliknya, momentum itu menghasilkan persaudaraan dan persahabatan luar biasa sehingga kedua pihak saling berkontribusi membangun masyarakat madani yang kemudian menjadi contoh ideal peradaban dunia," terang Menag.  

Belajar dari sejarah itulah, ujar Menag, pemerintah layak memberikan apresiasi bagi perjuangan kaum santri yang secara nyata memberikan andil bagi terbentuk dan terjaganya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Walhasil, kata Menag, peringatan Hari Santri harus dimaknai sebagai upaya memperkokoh eksistensi semua elemen bangsa agar saling berkontribusi mewujudkan masyarakat Indonesia yang bermartabat, berkemajuan, berkesejahteraan, berkemakmuran, dan berkeadilan.

Menurut Menag, Hari Santri merujuk pada keluarnya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang memantik terjadinya peristiwa heroik 10 November 1945 di Surabaya yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.


Resolusi Jihad adalah seruan ulama-santri yang mewajibkan setiap muslim Indonesia untuk membela Tanah Air dan mempertahankan NKRI

"Seruan itu menyuntik semangat para pejuang kita untuk menjaga kedaulatan bangsa, mempertahankan kemerdekaan RI, dan menolak penjajahan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan," kata Menag. 

Menurut Menag, pada kenyataannya, Resolusi Jihad itu telah melebur sekat antara kelompok agamis, nasionalis, sosialis, dan seterusnya di kalangan bangsa Indonesia yang beragam latar belakang.

Resolusi Jihad telah menyeimbangkan spiritualitas individu yang bersifat vertikal (hablun minallah) dengan kepentingan bersama yang bersifat horizontal (hablun minannas) melalui fatwa ulama yang mendudukkan nasionalisme sebagai bagian dari sikap religius.

“Spirit yang ada dalam Resolusi Jihad adalah membebaskan diri dari penjajahan supaya bangsa Indonesia bisa membangun negara sesuai cita-cita bersama yang termaktub dalam UUD 1945. Inilah intisari jihad, yakni melawan segala penindasan fisik dan non fisik yang menghalangi terwujudnya negara yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Dalam konteks sekarang, jihad itu berarti membebaskan diri dari kebodohan, korupsi, anarkisme, ketimpangan ekonomi, dan sebagainya yang menghalangi kemajuan Indonesia. Semangat itulah yang melatarbelakangi pengusulan Hari Santri,” ujar Menag.

Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015