Kalau dari muda sudah korupsi berarti maunya instan, mau cepat kaya, punya ini, punya itu, tidak menghargai proses."
Anggota DPR Dewie Yasin Limpo ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 20 Oktober dengan barang bukti uang dolar Singapura setara Rp1,7 miliar.

Uang itu diduga menjadi suap terkait proyek pengembangan pembangkit listrik mikrohidro di Provinsi Papua.

Suap diberikan kepada pejabat pusat yaitu anggota DPR untuk suatu proyek di Papua yang berjarak ribuan kilometer dari ibukota negara.

Artinya, pusaran korupsi tidak hanya terjadi di pusat, tapi juga di daerah.  Karena itu, membangun mental antikorupsi merupakan hal yang harus dilakukan di semua wilayah, serta ditanamkan sejak muda.

Mental antikorupsi itu juga yang ingin dikembangkan kepada sekitar 50 pemuda peserta  "Anti-Corruption Youth Camp" yang diselenggarakan KPK pada 19--29 Oktober 2015 di Yogyakarta,

Pemuda dan pemudi sia 17--26 tahun yang berasal dari Aceh hingga Papua tersebut terpilih karena aktif di komunitas masing-masing.

Cara pertama yang ditempuh untuk menumbuhkan semangat antikorupsi di berbagai daerah adalah melalui jalan budaya.

"Dengan kegiatan yang menjadikan mereka mandiri, fondasinya bisa lebih baik, kemudian juga bisa jadi lebih baik, tentu semua landasannya kebudayaan," kata Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun saat membuka Anti-corruption Youth Camp di Kaliurang, Yogyakarta, Senin (19/10).

Ia mengaku prihatin karena banyak pemuda-pemudi yang mengikuti budaya instan dan tidak menghargai proses sehingga menjadi bibit perilaku koruptif.

"Saya cukup prihatin karena banyak sekali pemuda yang bisa dikatakan instan, maunya apa-apa cepat, bagaimana pemuda ini menghargai proses, dalam artian harus bisa melewati segala sesuatunya sebagai pelajaran dan pengalaman hidup, jadi jangan semuanya instan," tambah GKR Pembayun.

"Kalau dari muda sudah korupsi berarti maunya instan, mau cepat kaya, punya ini, punya itu, tidak menghargai proses. Proses itu adalah pengalaman hidup. Proses belajar, berkomunitas, dan banyak kegiatan-kegiatan lain, itu yang membuat fondasi kita semakin tebal," ungkap GKR Mangkubumi.

Ada sejumlah tokoh dari berbagai daerah yang diundang dalam acara yang mengusung tema "Energi Mudamu, Senjatamu" itu.

Salah satu pembicara adalah Marzuki Muhammad "Kill the DJ", pendiri Jogja Hip Hop Foundation. Marjuki yang akrab disapa Juki ini adalah musisi hip-hop asal Jogja yang pernah membuat lagu "Cicak Nguntal Boyo" untuk mendukung KPK pada 2009 lalu saat persoalan mendera dua pimpinan KPK saat itu: Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.

Juki mengaku saat menciptakan lagu tersebut, ia merasa muak dan resah sehingga dengan bersenjatakan gadget ia membuat lagu dan langsung diunggah di "YouTube".

"Ini demi agar gerakan antikorupsi di Indonesia tetap ada dan jangan melemah. Memang risikonya semua biaya kita kerjakan sendiri, kita publikasikan sendiri, tapi biaya itu tidak dihitung karena merupakan kanal berekpresi yang membentuk jati diri saya dan bisa bekerja melalui musik," ungkap Juki.

Selain bermusik Juki juga mengaku melakukan aktivitas sebagai petani hayati yaitu menampung para anak muda di kampungnya di Klaten untuk melakukan pertanian terpadu.

"Bagaimana petani-petani itu tidak hanya cuma panen 3 bulan sekali, tapi bisa panen setiap hari dan bahkan limbah tani pun dimanfaatkan. Selama dua tahun ini saya memberikan beasiswa kepada lima anak dan inginya punya institut untuk belajar pertanian. Tidak perlu kerja sama dulu dengan institusi pemerintahan karena akan banyak kepentingan yang masuk," ungkap Juki.

Bali Tolak Reklamasi
Pembicara lain dalam acara tersebut adalah mantan manajer grup musik rock asal Bali "Superman is Dead" (SID), Rudolf Detue yang juga menggalang kampanye "Bali Tolak Reklamasi".

Kampanye itu dilakukan sejak 2012 untuk menolak reklamasi kawasan perairan Teluk Benoa yang meliputi Kabupaten Badung dan Kota Denpasar Provinsi Bali seluas 700 hektare.

"Tiap bulan kita turun dan kalau kita organisir semua dengan baik sekali turun bisa 2.000 orang. Ini adalah aksi serius kami melawan mereka dengan tidak ada takutnya, karena kami tidak bisa dibeli, semua sukarela," ungkap Rudolf.

Musisi lain yang ikut sebagai pembicara dalam "Anti-Corruption Youth Camp" adalah Robi "Navicula".

"Masalah orang muda saat ini adalah bebas berekspresi tapi tidak ada visinya. Jadi pejabat pemerintah maka proyeknya copy paste," kata Robi.

Visi tersebut menurut Robi berasal dari identitas yang kuat, identitas yang kuat pun berasal dari budaya yang kuat, termasuk dalam isu antikorupsi.

"Anak muda harus tahu kekayaannya, kenapa anak muda tidak peka isu antikorupsi? Karena masih merasa isu itu hanya milik KPK dan pemerintah. Anak muda merasa wajar pendidikan mahal padahal harusnya murah," tambah Robi.

Sebagai musisi pun ia ingin terus mengispirasi para penggemarnya melalui budaya.

"Indonesia budi pekertinya berasal dari seni budaya, topik berat seperti agama disebar lewat wayang, teater, lagu sejak dulu," tambah Robi.

Gerakan Organik
Pihak lain yang tampil dalam Anti-Corruption Youth Camp adalah "Ketjil Bergerak" yang berasal dari Yogyakarta.

Ketjil Bergerak adalah komunitas kreatif berbasis anak muda di bidang pendidikan dengan metode seni dan seluruh kegiatannya dibiayai sendiri tanpa donatur maupun sponsor.

"Kami berupaya membuat diskusi seni, budaya dan filsafat agar sifatnya menjadi dialog, bukan monolog," kata manager Ketjil Bergerak, Invani Lela Herliana yang biasa disapa Vani.

Vani mengungkapkan komunitasnya itu menjaga agar tidak ada struktur organisasi di sana sehingga menjaga orisinalitas ide para pegiatnya.

Kegiatan lain yang diusung adalah "Kelas Melamun" yaitu mendatangi sejumlah tokoh ke rumahnya untuk berbicara mengenai multikulturalisme, desain, seni dan lainnya. Sudah ada 13 "Kelas Melamun" yang diselenggarakan sejak 2013.

"Kelas melamun adalah kelas untuk membayang-bayangkan, sekaligus menimbun banyak hal sampai mengonggok. Kami tidak ingin ada fanatisme sempit, kelas melamun menjadi milik siapa saja yang ingin belajar," tambah Vani.

Setelah 9 tahun berjalan dengan pendanaan yang berasal dari penjualan "merchandise" maupun produksi mereka yang lain, Ketjil Bergerak pun mulai dipercaya banyak kampus hingga musisi untuk berkolaborasi bersama.

Karena gerakannya yang organik itu pun, Vani mengaku Ketjil Bergerak tidak punya rencana jangka panjang, bahkan ia tidak punya rencana kegiatan pada 2016.

"Gerakan komunitas ini berupaya untuk menipiskan ego, semuanya ketjil bergerak, kami melakukan kegiatan kecil tapi terus-terusan, boleh kesal, boleh capai, tapi tidak boleh berhenti," tegas Vani.

Pemuda yang bergerak di seluruh Nusantara, bisa jadi merupakan jalan keluar menuju Indonesia yang bebas korupsi.

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015