Jakarta (ANTARA News) - Boneka tak hanya berfungsi sebagai mainan, tetapi juga medium visual dalam mendongeng agar penonton tenggelam dalam kisah yang didongengkan. Dongeng sendiri dituturkan secara turun temurun dengan medium yang terus berkembang dari masa ke masa.

Jaman dulu, dongeng disampaikan lewat wayang.

Mengutip berbagai sumber, wayang yang masuk Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia UNESCO pada 2013 itu ada berbagai jenis. Jawa Timur bercerita lewat wayang kulit, Jawa Tengah dengan wayang orang. Lain lagi dengan Jawa Barat, di sini dinamai wayang golek.

Kisah yang didongengkan biasanya ditarik dari kisah Mahabarata dan Ramayana, namun bila menampilkan dongeng selain pakem standar itu, maka istilahnya lakon carangan atau sempalan.

Tak hanya diantarkan oleh dalang, kini wayang juga bisa disuguhkan lewat cara lain, seperti pementasan terbaru "Inspektur Jendral" dari Teater Koma.

Teater berusia 38 tahun ini tidak menampilkan kisah klasik Mahabarata atau Ramayana, melainkan naskah klasik Rusia yang diracik dengan konsep pewayangan agar lebih mengena hati penonton Indonesia.

Bauran wayang dengan modernisasi melahirkan jenis-jenis baru, misalnya Wayang Tavip yang serupa wayang kulit namun dibuat dengan plastik berwarna. Berbeda dari wayang kulit yang hanya menampilkan bayangan, lewat medium ini penonton tetap dapat melihat warna wayang lewat permainan cahaya.

Wayang kontemporer itu dibuat oleh Mohamad Tavip, pengajar Sekolah Tinggi Seni Indonesia.

Dongeng boneka

Di Amerika Serikat, boneka menjadi salah satu media edukasi dan hiburan untuk anak. Salah satu wujudnya, Sesame Street (Jalan Sesama).

Acara berisi karakter-karakter si burung kuning besar Big Bird, monster merah Elmo, duo Bert dan Ernie, Cookie Monster yang berwarna biru serta katak hijau Kermit The Frog itu tayang perdana pada 1969.

Indonesia tak mau ketinggalan. Pada 1980-an muncul acara boneka sangat populer masa itu, Si Unyil, karakter legendaris ciptaan almarhum Suyadi yang orang kebanyakan mengenalnya sebagai Pak Raden.

Dari laman resmi Pak Raden, Si Unyil yang tayang di TVRI sejak 1981 telah mencapai 603 seri film boneka pada masa jayanya.

Film boneka ini sempat vakum sejak awal 90-an sebelum ditayangkan kembali di televisi swasta pada periode 2002-2003.  Belakangan pada dua ribu sebelasan ini sebuah stasiun televisi swasta mencomot beberapa karakter dari salah satu acara paling populer pada 1980-an itu untuk mengantarkan acara dokumenter.

Karakter utama Si Unyil adalah Unyil, Ucrit dan Usro. Ada pula Pak Raden, pria Jawa berkumis tebal yang mengenakan beskap hitam, blangkon dan tongkat dengan pegangan mirip gagang payung.

Tokoh yang digambarkan pelit dan pemarah ini memelihara burung perkutut dan memiliki bakat seni lukis.

Ada pula Pak Ogah, pengangguran berkepala plontos yang dikenal karena kerap mengucapkan kalimat "Ogah, aah," dan "Cepek dulu dong!".

Pak Ogah digambarkan kerap duduk di pos ronda dan meminta uang seratus rupiah dari orang-orang yang ingin melewati pos ronda.  Karakter ini hidup sampai kini dalam kehidupan nyata, yakni  pada orang-orang partikelir yang mengatur lalu lintas di luar polisi dan petugas resmi, terutama di persimpangan-persimpangan jalan non utama.

Si Unyil karya Suyadi ini  mendorong terlahirnya tokoh Si Komo ciptaan Kak Seto yang mengaku terinspirasi karakter ciptaan seniman yang belum lama dipanggil untuk selamanya oleh Tuhan Yang Maha Esa itu.

Meski Si Komo berbentuk komodo, ternyata boneka yang digunakan adalah boneka naga milik Kak Seto dari Disneyland, AS, yang dimodifikasi.

Namun apa pun bentuknya, entah wayang, Si Unyil dan Sesame Street, pesan dalam cerita-cerita yang dihidupkan oleh boneka-boneka itu begitu sarat nilai dan bahkan mentransformasikan kebudayaan kepada masyarakat nyata.

Untuk sumbangsih inilah para kreator inovatif seperti Suyadi atau Pak Raden selalu menempati posisi istimewa dalam masyarakat, setidaknya dalam berkesenian dan berkebudayaan.

Oleh Nanien Yuniar
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015