Sungai di sekitar kampung sudah tercemar dan penuh lumpur karena obat hama untuk sawit mengalir ke sungai-sungai kami."
Badan Program Pembangunan PBB  (UNDP) memberikan anugerah Equator Prize kepada masyarakat Dayak Benuaq di Kampung Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur.

Equator Prize merupakan suatu penghargaan yang diberikan kepada Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal yang berupaya memerangi kemiskinan, melindungi alam dan memperkuat ketahanan dari perubahan iklim.

Penghargaan itu bagai angin segar dari perjuangan sejak 1971 saat komunitas Dayak Benuaq mulai mempertahankan hutan itu dari  perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH).

Berhadapan langsung, menjadikan badan sebagai tameng dari pergerakan alat-alat berat perusahaan sawit yang akan merubuhkan tegakan di hutan adat Utaq Melinau di 2011, adalah perjuangan yang harus mereka lakukan di sana. 

Tokoh adat Muara Tae Petrus Asuy mengatakan hutan adat Utaq Melinau seluas 300 hektare kini bertumpang tindih dengan perkebunan sawit PT Borneo Surya Mining Jaya. 

Lahan ini yang, menurut dia, diupayakan untuk direhabilitasi, ditanami kembali dengan bibit gaharu, ulin, nyatoh, dan kapur.

"Kami juga tanam di dua tempat seluas lima hektare, di lahan yang dimasuki perusahaan sawit, pisang dan karet. Tapi gagal karena kena semprot hama sawit," ujar dia.

Untuk menjaga agar hutan adat mereka tidak diratakan sepihak dan ditanami kelapa sawit lagi, menurut dia, warga bergantian melakukan penjagaan di pondok jaga yang sengaja dibangun di dalam hutan-hutan adat.

"Kalau kami tinggalkan hutan pondok jaga kami mereka hancurkan," ujar Asuy.

Masrani, anak dari Petrus Asuy,  mengatakan dari 12.000 hektare wilayah adat yang ditandai batas-batas alam berupa aliran sungai, punggungan bukit, dan pepohonan kini hanya tersisa 4.000 hektare.

"Buat mereka batas-batas alam itu tidak ada. Karena dapat perlawanan dari kami, mereka mengambil dari kampung sebelah, kondisi dibuat sedemikian rupa sehingga konflik horizontal justru muncul," ujar Masrani  yang mantan Kepala Desa Muara Tae.

Konflik horizontal tersebut muncul justru karena warga kampung sebelah yang lahannya sudah terjual dan beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan tambang tidak ada tempat untuk berladang. Pada akhirnya, menurut Masrani, mereka jadi berebut lahan dengan masyarakat di Muara Tae.

Muara Tae, lanjutnya, satu dari 12 kampung di Kecamatan Jempang, Kutai Barat, Kalimantan Timur, yang masih memiliki kawasan hutan adat. Bahkan, warga di tiga kecamatan di kabupaten ini yakni Kecamatan Siluq Ngurai, Kecamatan Muara Pahu, dan Kecamatan Jempang "berdesakan" di Muara Tae.

Kini, Kampung Muara Tae, yang awalnya hanya ditinggali 500 kepala keluarga (KK)  mendapat tambahan sekitar dua rukun tetangga atau 600 KK. 

Luas kawasan hutan dan lahan yang semakin mengecil karena beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, logging, dan tambang batubara kini kehidupan menjadi semakin sulit.

Masrani mengatakan kampung tempat komunitas adat Dayak Benuaq bermukim telah terkepung sejak lama. Bagian barat kampung dikuasai oleh perusahaan tambang batubara milik PT Gunung Bayan Pratama Coal dengan survei tambang dilakukan sejak 1980-an.

Perusahaan sawit PT London Sumatera menguasai lahan di bagian utara Muara Tae. Dan di bagian timur hingga selatan dikuasai perusahaan sawit lainnya yakni PT Borneo Surya Jaya Mining dan PT Munte Wanig Jaya Perkasa.

Pengakuan dari Luar
Equator Prize bagi Petrus Asuy sebagai pedoman, bahwa perjuangan mereka di atas lahan 4.000 hektare yang tersisa adalah sebuah keniscayaan, yang akan membuat anak dan cucu tetap dapat hidup dengan layak di muka bumi yang menghadapi degradasi lingkungan sangat pesat.

Ukuran layak utama bagi Petrus Asuy adalah udara dan air bersih yang menjadi pokok kehidupan yang diberikan oleh hutan-hutan adat yang terjaga dengan baik. Dengan terjaganya tegakan pohon di hutan-hutan adat mereka, maka ketersediaan pangan, sandang, dan papan akan mengikuti di belakangnya.

"Dengan adanya penghargaan ini (Equator Prize) jadi pedoman atau pembenaran bahwa apa yang kami perjuangkan memang benar," kata Petrus Asuy.

Ia bahkan berharap agar UNDP di bawah PBB mampu menghentikan pola merusak, mengembalikan, dan memulihkan kembali hutan adat dari kegiatan perusahaan-perusahaan kelapa sawit, logging, dan tambang yang merugikan keberlangsungan hidup masyarakat di sekitarnya.

Ada alasan Petrus Asuy berharap kepada Badan Program Pembangunan PBB agar ada keberpihakan untuk perlindungan atas hutan adat mereka untuk kehidupan mereka di masa depan. Karena ia menilai pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah tidak peduli dengan kondisi mereka.

"Hak hidup kami semakin menyempit, bahkan sawit hanya berjarak 500 meter dari perkampungan. Tapi tidak ada yang berpihak saat pengaduan diajukan," ujar dia.

Bukan tidak ada alasan dengan kondisi kebun sawit yang semakin mendekat karena ancaman kekeringan pun semakin mendekat. Sumber mata air di Muara Tae, ia mengatakan tinggal satu karena hutan sudah menghilang.

"Kami membeli air yang dijual dengan tangki-tangki yang diambil dari bekas tambang. Sungai di sekitar kampung sudah tercemar dan penuh lumpur karena obat hama untuk sawit mengalir ke sungai-sungai kami," ujar dia.

"Karena itu, perjuangan ini dilakukan, karena ini untuk kehidupan anak dan cucu kami di masa depan," ujar dia.

Masyarakat Muara Tae juga berjuang di level internasional dengan melaporkan kasus ini kepada Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Muara Tae juga menyampaikan kasus ini dalam Inkuiri Nasional yang diadakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Namun, menurut dia, persoalan belum juga berakhir.

Campaigner Environmental Investigation Agency (EIA) Tomasz Johnson yang selama ini ikut mendukung perjuangan Muara Tae mengatakan Masyarakat Adat di Muara Tae menunjukkan bahwa solusinya sangat sederhana untuk menghentikan deforestasi yaitu harus mendukung masyarakat seperti Muara Tae, yang selama ini tetap berjuang melindungi tanah adat mereka.

Oleh Virna P Setyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015