Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PPP Okky Asokawati mengemukakan pemerintah perlu meninjau ulang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

"Saya meminta agar pemerintah meninjau PP tersebut karena memang merugikan pihak buruh," katanya kepada pers di Jakarta, Senin.

Dia mengatakan rumusan pengupahan di PP Nomor 78 Tahun 2015 sejatinya tidak ada peningkatan upah buruh karena besarnya upah yang baru per tahun itu adalah upah minumum berjalan ditambah (inflasi+laju pertumbuhan ekonomi) kali upah minimum berjalan.

Sehingga sebenarnya tidak ada peningkatan upah karena penambahan upahnya hanya untuk menambah membeli barang-barang yang naik akibat inflasi dan laju pertumbuhan ekonomi yang kurang baik. "Sehingga tidak terjadi peningkatan kesejahteraan," katanya.

PP Nomor 78 Tahun 2015 juga merupakan model pengupahan yang sentralistik. Lantaran dalam pembuatan PP, pemerintah tidak melibatkan kepala daerah (gubernur).

Padahal setiap daerah memilki kekuatan dan kelemahan masing-masing terkait dengan laju pertumbuhan ekonomi. Menurut dia, PP Nomor 78 Tahun 2015 itu bertentangan dengan sistem negara yang menerapkan sistem desentralisasi.

"Saya meminta perlu dievaluasi dan perlu ada pembicaraan antara unsur-unsur penentu UMP ini. Konkretnya, pemerintah perlu segera meninjau ulang PP tersebut," katanya.

Karena yang mendapatkan upah minimum itu adalah 68 persen dari pekerja di Indonesia. "Jika mengikuti rumus UMP versi PP 78/2015 maka penambahan upah pertahun adalah 11,7 persen. Sedangkan serikat pekerja menghendaki 22 persen," katanya.

Dia mengatakan jangan sampai ada kesan PP ini sengaja dibuat cepat dan mendekati tanggal 1 November. "Karena setiap 1 November para gubernur harus mengesahkan UMP di masing-masing daerahnya," katanya.

Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri menegaskan bahwa kepastian pengupahan yang diatur dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan akan menambah lapangan kerja sehingga mengurangi pengangguran.

"Suplai tenaga kerja kita lebih besar daripada lapangan kerja yang tersedia. Karena itu kita perlu lapangan kerja lebih banyak dan kepastian pengupahan akan menjamin penciptaan lapangan kerja yang lebih banyak," ujar Menaker ketika ditemui di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Menteri-menteri Tenaga Kerja Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang ketiga di Jakarta, pekan lalu.

Jumlah penganggur saat ini mencapai angka 7,4 juta orang dengan mayoritas hanya memiliki ijazah SD dan SMP.

"Pengangguran kita masih didominasi oleh lulusan SD dan SLTP. Ini harus diberi perhatian, bukan saja oleh pemerintah tetapi juga semua komponen masyarakat. Akses dan mutu pendidikan formal harus ditingkatkan, demikian halnya dengan pelatihan berbasis kompetensi melalui BLK yang harus terus digenjot," kata Hanif.

Kementerian Ketenagakerjaan mengembangkan program percepatan peningkatan kompetensi dan sertifikasi tenaga kerja agar SDM bangsa unggul dan memiliki daya saing.

Balai Latihan Kerja (BLK) di seluruh Indonesia juga direvitalisasi baik sarana-prasarana, sistem pelatihan, standar kompetensi, instruktur maupun sertifikasi tenaga kerja terlatihnya untuk dapat bersaing di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang segera akan berjalan.

Hanif optimistis aturan baru pengupahan akan berjalan baik karena menguntungkan buruh dan melindungi semua pihak.

Pewarta: Sri Muryono
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015