Insentif itu bisa berupa renumerasi dan juga fasilitas studi lanjut bagi apoteker yang mau ke puskesmas,"
Surabaya (ANTARA News) - Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dan Himpunan Seminat Farmasi Rumah Sakit Indonesia (Hisfarsi) mengakui apoteker enggan terjun ke puskesmas, karena itu IAI-Hisfarsi meminta pemerintah menyediakan insentif bagi apoteker.

"Insentif itu bisa berupa renumerasi dan juga fasilitas studi lanjut bagi apoteker yang mau ke puskesmas," kata Ketua Umum PP IAI Nurul Falah EF di sela Pertemuan Ilmiah Tahunan dan Rakernas 2015 Hisfarsi di Surabaya, Kamis.

Didampingi Ketua PP Hisfarsi Amrizal Marzuki dan Ketua PD Hisfarsi Jatim M Yahya, ia mengemukakan hal itu menanggapi pengarahan Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Alkes) Kemenkes, Dra Maura Linda Sitanggang PhD Apt.

Dalam pengarahannya, Dirjen Bina Kefarmasian dan Alkes Kemenkes, Maura Linda Sitanggang, mengatakan pemerintah meluncurkan program paradigma sehat dengan mewajibkan lima tenaga kesehatan pada setiap puskesmas.

"Lima tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter, perawat, dan apoteker itu ketentuan minimal. Standar minimal itu pada tahun 2014 juga masih tercapai 10 persen puskesmas yakni 1.015 dari 9.655 puskesmas," katanya.

Dari data itu, Indonesia masih kekurangan 4.086 apoteker pertahun pada tahun 2014, padahal sejumlah universitas sudah mampu mencetak 6.000-an apoteker pertahun.

"Karena itu, pemerintah akan melakukan rekrutmen untuk Tenaga Kesehatan Nusantara yang akan diterjunkan ke daerah pinggiran dengan dibekali modal dan kemampuan teknis yang bukan hanya medis, tapi seperti sanitasi," katanya.

Selain itu, pemerintah akan mengizinkan apoteker bekerja pada 2-3 tempat praktik, namun praktik itu harus disertai dengan komitmen jam. "Misalnya, jam 8-15 WIB praktik di rumah sakit, jam 18-22 WIB praktik di puskesmas atau klinik," katanya.

Menilai hal itu, Ketua Umum IAI Nurul Falah EF menyatakan kekurangan apoteker pertahun itu tidak benar, karena 29 universitas yang memiliki jurusan farmasi mampu mencetak 5.000-an sarjana farmasi pertahun.

"Namun, sarjana farmasi itu memang perlu pendidikan profesi dua semester lagi untuk menjadi apoteker, tapi masalahnya bukan itu. Kalau ingin apoteker mau bekerja di puskesmas itu perlu insentif berupa renumerasi dan juga fasilitas studi lanjut," katanya.

Selain itu, pemerintah daerah saat melakukan rekrutmen seringkali menyamakan sarjana farmasi dengan apoteker, padahal sarjana farmasi itu mirip dokter umum dan apoteker itu mirip dokter spesialis.

"Apoteker itu yang bisa menjelaskan kenapa ada obat yang dikonsumsi sesudah dan sebelum makan, kenapa ada konsumsi obat tiga kali sehari atau kurang dari itu, kenapa antibiotik itu harus tetap dikonsumsi sampai habis meski sembuh, jadi apoteker yang paham obat sebagai obat atau racun," katanya.

Pertemuan Ilmiah Tahunan dan Rakernas 2015 Hisfarsi diikuti 1.086 peserta se-Indonesia itu berlangsung pada 5-8 November 2015 dengan tema "Manajemen Risiko dalam Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit".

Pewarta: Edy M Ya'kub
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015