Surabaya (ANTARA News) - Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti menyatakan tiga oknum kepolisian yang terlibat kasus tambang pasir ilegal di Kabupaten Lumajang dan menewaskan aktivis antitambang Salim Kancil bisa dipidana, meski ketiganya telah menjalani sanksi etik.

"Meski terima sedikit, kalau mereka terima pungutan itu berarti bisa dikenai gratifikasi," kata jenderal berbintang empat itu ketika dikonfirmasi pers setelah menyampaikan pembekalan tertutup kepada anggota Polri di Gedung Mahameru Mapolda Jatim, Selasa.

Kapolri yang berada di Jatim untuk mendampingi Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kerja di Jatim pada 9-11 November 2015 itu menegaskan bahwa dugaan keterlibatan pihak lain, seperti Bupati dan Ketua DPRD Lumajang, bergantung pada alat bukti.

"Kalau di luar Polri itu, kalau alat bukti cukup ya dilanjutkan ke pidana, tapi kalau tidak cukup ya tidak bisa. Tapi, kalau Kode Etik (Polri) itu bisa berlanjut ke pidana, meski tidak semua kode etik bisa ke pidana," katanya.

Dalam putusan sidang kode etik pada 19 Oktober 2015, sebanyak tiga oknum kepolisian dari Polres Lumajang dinyatakan terbukti bersalah dan ketiganya pun langsung menerima putusan terkait dengan kasus tambang pasir ilegal Lumajang itu.

Ketiga oknum polisi yang dimaksud adalah Kasubagdalops Polres Lumajang AKP Sudarminto yang juga mantan Kapolsek Pasirian, Ipda Samsul Hadi (Kanit Reskrim Polsek Pasirian) dan Aipda Sigit Pramono (Babinkamtibmas Polsek Pasirian).

Ketiga oknum polisi yang terbukti menerima pungutan itu telah dijatuhi tiga bentuk hukuman etik yakni teguran tertulis, mutasi secara demosi (mutasi ke luar dari wilayah semula), dan penempatan khusus (sel tahanan) selama 21 hari.

Kasus Lumajang bermula dari peristiwa pembunuhan dan pengeroyokan aktivis antitambang di Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, 26 September 2015. Dalam peristiwa itu, aktivis Salim Kancil tewas dan rekannya, Tosan, mengalami luka serius.



Tersangka Teror Wartawan

Di sela pembekalan anggota Polri se-Jatim itu, Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol RP Argo Yuwono menegaskan bahwa pihaknya telah menetapkan tersangka teror SMS kepada tiga wartawan Lumajang (5/11).

"Kami telah menetapkan tersangka dalam kasus teror SMS kepada tiga wartawan Lumajang yakni HL yang terbukti bersalah dengan dua bukti permulaan yang cukup," katanya.

Ia menyatakan dua bukti permulaan yang cukup dimaksud adalah keterangan saksi korban (tiga wartawan Lumajang) dan keterangan saksi ahli. HL terbukti melakukan teror SMS itu.

"Sekarang, HL sedang diperiksa sebagai tersangka untuk mengetahui motif teror SMS itu. Kalau sekarang belum bisa diketahui, karena proses pemeriksaan masih sedang berlangsung," katanya.

Tiga wartawan Lumajang yang menjadi korban teror SMS dari orang tak dikenal, yakni Wawan Sugiharto (TV-One), Abdul Rochman (Kompas TV), dan Ahmad Arif Ulinnuha (JTV).

Sebelumnya (4/11), Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Setiadji mengatakan penanganan kasus Lumajang akan jalan terus, baik illegal mining (kasus tambang pasir ilegal) maupun penghilangan nyawa (kasus Salim Kancil), termasuk keterlibatan Polri dalam kasus Lumajang itu.

"Kita nggak akan berhenti, kita akan tuntaskan kasus itu (kasus tambang pasir ilegal di Lumajang), tapi kita tidak boleh menduga, melainkan semuanya berdasar fakta hukum," katanya di sela workshop yang diselenggarakan Imparsial-Polri di Surabaya (4/11).

Dalam pembekalan itu, Kapolri menegaskan bahwa pembinaan bintara Polri selama ini keliru, karena mereka hanya diperintah, padahal bintara itu harus diberi wawasan agar pintar, karena merekalah yang berada di lapangan dan merepresentasikan negara. "Kalau mereka benar dalam bertindak berarti negara hadir," katanya.

Pewarta: Edy M Ya`kub
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015