Aroma guano (kotoran kelelawar) mulai menyengat  saat kaki menapaki tangga dengan sisi kiri tebing curam.

Rombongan yang terdiri dari guru, mahasiswa dan pelajar itu pun harus membungkukkan badan saat melewati lorong pendek sekitar tiga meter, kemudian berbelok ke kiri dengan melewati jalan setapak hingga mencapai teras besar di tepi jurang.

Para peserta Geotrek Gua Pawon yang diselenggarakan Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) Universitas Padjadjaran itu pada Sabtu (10/11) kemudian mendapatkan penjelasan dari Budi Brahmantyo (peneliti dan pemerhati karst Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB).

"Posisi Gua Pawon ini berada di ketinggian 709 Mdpl, sama persis dengan ketinggian Stasiun Kereta Api Bandung, di sini ada manusia purba Homo Sapiens yang hidup antara 6.000-9.000 tahun lalu," katanya.

Arti nama Pawon itu dalam bahasa Sunda adalah dapur dan ada cerobongnya.

Penjelasan itu merupakan pintu gerbang bagi peserta untuk mengetahui lebih dekat Gua Pawon yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Kota Bandung, posisinya berada di kawasan karst Citatah, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.

Setelah mendapatkan penjelasan, langkah kaki kemudian mengikuti jalan setapak tipis dengan sisi kiri jurang dan sisi kanan ruangan gua. Tangga alumunium harus dinaiki hingga akhirnya tiba di luar gua. Di sisi kanan, terlihat jeruji besi dan tengkorak manusia.

Menurut peneliti Cekungan Bandung yang juga Ketua Masyarakat Geografi Indonesia, T Bachtiar, di Gua Pawon ditemukan tengkorak manusia purba yang berusia antara 6.000 sampai 9.000 tahun lalu.

"Manusia purba berindentitas perempuan itu, terkenal dengan Homo Sapien," katanya.

Posisi tengkorak manusia purba itu dalam keadaan meringkuk yang terawetkan dengan abu dari letusan Gunung Sunda (cikal bakal Gunung Tangkuban Perahu). Tengkorak aslinya sudah diamankan di Balai Arkeologi.

Di kedalaman satu meter penemuan tengkorak manusia purba itu juga, terdapat arang. "Ini membuktikan mereka sudah memasak dan memakan daging binatang yang tulangnya digunakan sebagai senjata," katanya.

Termasuk juga ditemukan biji kemiri atau muncang. Bahkan ditemukan pula perhiasan seperti taring yang ada bolongnya. "Berarti taring itu dijadikan sebagai perhiasan," katanya.

Seusai menikmati suasana Gua Pawon, para peserta pun menapaki tangga ke Puncak Gunung Pawon untuk melihat "stone garden". Tidak terasa empat jam sudah kegiatan geotrek dilalui, para peserta pun membayangkan bagaimana suasana kehidupan masa lampau di kawasan karst yang saat ini terancam dengan aksi penambangan kapur.

Sementara itu, para peserta kegiatan Geotrek itu mengaku merasa puas dengan kegiatan tersebut karena mereka dapat lebih mengetahui sejarah khususnya manusia purba di Gua Pawon.

"Saya ingin mengetahui kawasan karst Citatah khususnya Gua Pawon," kata peserta Geotrek mahasiswa jurusan Farmasi Universitas Islam Bandung (Unisba) angkatan 2014, Ahmad.

Ia mengaku dirinya semula hanya mengetahui atau mendengar adanya Gua Pawon tapi tidak tahu kalau di lokasi itu terdapat manusia purba.

Gua Pawon saat ini masuk dalam Wisata Widya Situs Gua Pawon dan pengunjung dapat mengetahui lebih dekat sejarah manusia purba. Hanya sayangnya, pemerintah daerah setempat tampaknya belum serius untuk mengangkat potensi gua itu sebagai wisata ilmu pengetahuan tersebut terlihat fasilitas umum yang dibangun alakadarnya.

Jika benar-benar ditata dengan baik seperti menyediakan guide dan informasi mengenai sejarah kawasan karst Citatah termasuk manusia purba, bukan tidak mungkin akan banyak turis manca negara yang mendatangi tempat tersebut.

Oleh Riza Fahriza
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015