Jakarta (ANTARA News) - Hakim Nelson Sianturi mengatakan pembelaan baik dari tim kuasa hukum terdakwa Prio maupun terdakwa sendiri kontradiktif atau berbeda.

"Anda (kuasa hukum) bilang tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, tapi dia (terdakwa Prio) bilang menyesal. Ada suatu kontradiksi antara yang dituangkan terdakwa dan dari kuasa hukum," kata Nelson saat memimpin sidang untuk mendengarkan pembelaan terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu.

Ia mempertanyakan kepada Prio jika ada tekanan untuk membuat pembelaan sendiri itu. Namun, Prio mengatakan pembelaan itu dibuat oleh dirinya sendiri tanpa ada pengaruh dari pihak lain.

"Mana tahu saudara (Prio) dipaksa untuk membuat pengakuan seperti ini," ujarnya.

Majelis hakim mengagendakan Jaksa Penuntut Umum memberikan tanggapan terhadap pembelaan itu pada Senin depan (16/11).

Terkait pernyataan hakim itu, kuasa hukum Prio, Ahmad Ramzy mengatakan kontradiksi yang dipermasalahkan karena Prio mengakui tindakan itu, namun secara hukum tidak terbukti bersalah karena tidak ada tes DNA dan sidik jari.

Lagipula, menurutnya, tidak ada satu pun saksi yang mengatakan bahwa Prio adalah orang terakhir yang keluar dari kamar kontrakan Dedeuh, sehingga dikhawatirkan ada orang lain yang bisa saja masuk ke kamar korban.

"Tidak cukup hanya dengan pengakuan Prio saja harus ada bukti-bukti yang lain," tuturnya.

Ia berharap majelis hakim dapat melihat pembuktian lain yang perlu dilengkapi pihak jaksa sehingga dapat melihat perkara itu dengan lebih baik.

"Saya sesama advokat kan sama juga seperti jaksa, polisi seperti hakim. Jangan kita komentari seperti itu, seolah-olah kita ini tidak mengerti, baru jadi pengacara begitu loh. Janganlah begitu," katanya.

Ia mengatakan jangan hanya karena berlandaskan pengakuan, orang ditetapkan bersalah. Oleh karena itu, menurutnya harus ada tes DNA.

"Siapa yang bilang bahwa Prio orang terakhir kecuali pernyataan dia, dia cekik datang terakhir tanggal 10 april 2015, cuma yang bisa buktikan ada orang lain datang itu gimana? kan disitulah makanya ini bukan kebenaran formil, ini kebenaran materiil. Pidana itu beda dengan perdata, kalau pidana yang dicari itu kebenaran material. Benar tidak prio itu yang membunuh, benar tidak sih Prio itu orang terakhir, benar tidak sih atas cekikan itu sehingga matinya korban? " katanya.

Anggota dari tim kuasa hukum Prio, M Nuzul mengatakan pihaknya tidak pernah menutupi kenyataan bahwa Prio mencekik korban pada Jumat (10/4).

Sementara, korban baru ditetapkan meninggal dunia sehari kemudian.

"Jadi, dalam hal ini kan harus ada kepastian dulu, ini kan masalah krbenaran materiil. Orang kalau terjadi korban pidana itu betul-betul harus bisa dipastikan. Jadi, artinya kalau memang itu adalah Prio buktikan secara materiil bukan semata-mata pengakuan," ujarnya.

Ia mengatakan menurut hakim tidak ada sinkronisasi karena terdakwa me gaku sementara pihak kuasa hukum mempermasalahkan pengakuan itu.

"Ya karena memang perspektifnya beda gitu. Kita juga ga menutupi bahwa dia mengakui tanggal 10 April 2015 bahwa dia melakukan perbuatan, kita tidak menutupi, dari awal kita suruh jelaskan begitu, tapi yang jadi masalah itu tadi. Oke dia mengaku untuk yang tanggal 10 April 2015 tapi meninggalnya ternyata menurut dokter berbeda tanggal 11 April," tuturnya.

Menurut dia, pengakuan tidak cukup dijadikan bukti karena dikhawatirkan pelaku tindak pidana menyuruh orang lain mengaku suatu tindak pidana sehingga melimpahkan kesalahan pada orang lain.

"Misalnya ada orang yang melakukan kemudian menyuruh orang lain mengaku bisa aja kan, apa kemudian mengandalkan pengakuan itu cukup? Enak banget kan pengakuan cukup. Kita bunuh orang kita suruh orang lain ngaku, selesai," katanya.

(M052/A029)

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015