Surabaya (ANTARA News) - Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM), Faisal Basri, mengatakan masih banyak calo mafia migas yang berkeliaran di Indonesia, padahal PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral) sudah dibubarkan.

"Sudah bukan rahasia lagi, anak usaha Pertamina itu justru bekerja sebagai calo pengadaan BBM untuk negara. Di situ menjadi sarang mafia, yang pada gilirannya menjadi benalunya aset negara, sedangkan mafia migas juga masih berkeliaran," kata Faisal seusai menghadiri diskusi Economic Outlook di Suara Surabaya Center (SSC), Rabu malam.

Ia mengatakan, Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto seolah tidak ada masalah dengan menyebutkan pengawasan yang lemah dan tidak ada kerugian negara, padahal kerugian negara bisa dikalikan serta dihitung sendiri, seperti nama perusahaan yang menjadi pihak ketiga Global Energy Resources.

"Setiap hari Pertamina membeli devisa dari perbankan sebesar 150 juta dolar AS per hari untuk menjalankan bisnis minyak yang banyak bertransaksi dengan dolar, sedangkan ketika impor minyak masih dilakukan oleh Petral bisa memperoleh diskon harga antara 0,3 dolar AS sampai 1,3 dolar AS per barel," tuturnya.

Menurut dia, pertanyaannya adalah kemana larinya diskon tersebut, karena jika impor sehari sebanyak 400 ribu--500 ribu barel sehari saja, maka bisa dikalikan. Ini yang jadi lahan bagaimana masa lalu suasana masih gelap dijadikan lahan main-main. Sektor ini harus pelan-pelan direnggangkan dari sektor politik.

"Salah satu kecurangannnya adalah pemenang tender harus National Oil Company (NOC), Namun fakta dan temuan menunjukkan banyak NOC pemenang tender tidak memiliki minyak sendiri, seperti Maldives NOC Ltd yang menjadi satu perusahaan dalam Daftar Mitra Usaha Petral, padahal Maldives tidak punya sumber minyak," paparnya.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, pihaknya sudah menyampaikan dalam rekomendasi ke Dirut Pertamina, Dwi Sutjipto, sehingga ia meminta untuk membuka laporan tersebut kepada publik karena sudah tidak ada lagi yang dirahasiakan, seperti laporan yang bisa diakses di internet oleh siapapuun.

"Laporan ini ada dua bagian, salah satunya bagian utuh analisis yang berisikan sekitar 70--80 halaman dan lampirannya yang banyak sekitar 350 halaman. Sebaiknya semua laporan itu bisa dibuka dan bacanya yang benar agar tidak ada kesimpangsiuran," tandasnya.

Pewarta: Tim ANTARA
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015