Misalnya seorang lulusan SMK, karena tidak memiliki dana untuk kuliah, maka dia bekerja, namun sepuluh tahun berikutnya membutuhkan ijazah sarjana untuk karier di perusahaan,"
Surabaya (ANTARA News) - Sebanyak 42 dari ratusan politeknik di Indonesia siap memberlakukan kurikulum berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) mulai tahun ajaran 2016.

"KKNI yang dibuat melalui Peraturan Presiden Nomor 8/2012 itu memang perlu waktu untuk implementasi, karena PP perlu peraturan menteri, dan seterusnya," kata Tim Leader KKNI Dr Megawati Santoso, PhD di Surabaya, Rabu.

Dalam Pelatihan Redesain Kurikulum Perguruan Tinggi Berbasis KKNI di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), ia mengatakan KKNI akan memberi peluang bagi lulusan SMA yang belum memiliki ijazah sarjana atau diploma untuk bisa meraihnya.

"Misalnya seorang lulusan SMK, karena tidak memiliki dana untuk kuliah, maka dia bekerja, namun sepuluh tahun berikutnya membutuhkan ijazah sarjana untuk karier di perusahaan," katanya.

Oleh karena itu, dia bisa datang ke perguruan tinggi yang sudah melaksanakan KKNI ini. "Nantinya pengalaman dia bekerja selama sepuluh tahun akan di-recognize atau disetarakan dengan satuan kredit semester (SKS)," katanya.

Contohnya, jika menempuh pendidikan sarjana membutuhkan 140 SKS misalnya, maka pengalamannya dihitung bisa disetarakan dengan 100 SKS, maka dia tinggal menempuh pendidikan 40 SKS.

"Pada dasarnya, KKNI pada dasarnya adalah mengukur kualifikasi dari sebuah lembaga. Untuk sebuah perguruan tinggi, kualifikasi yang diukur adalah dua hal yakni akuntabilitas dan rekognisasi pembelajaran lampau (RPL)," katanya.

Untuk mengukur akuntabilitas sebuah perguruan tinggi, indikatornya yang mudah adalah alumni yang lulus menjadi apa dan prestasi kerjanya apa. "Ini nanti ada level-levelnya, kalau S1 itu level 6 begitu juga dengan diploma, lalu S2 itu level 8," katanya.

Dengan akuntabilitas itu, katanya, maka ukuran yang kurang dari ketentuan dalam level tertentu, maka akan menerima sanksi penurunan akreditasi dari program studi yang bersangkutan.

"Jadi, nantinya, tidak ada ceritanya kalau S2 itu lebih mudah dari S1. Atau, perguruan tinggi X yang asal-asalan akan sama status dengan perguruan tinggi Y yang sangat serius," katanya, didampingi Rektor Unusa, Prof Dr Ir Achmad Jazidie, M.Eng.

Untuk masalah RPL, proses pembelajaran tidak hanya dilakukan dalam satu jalur yakni pendidikan formal, melainkan juga melalui pengalaman yang tentunya perlu "recognize" (penyetaraan).

"Sebagai langkah awal, recognize itu akan dilakukan pada 42 politeknik, tapi nantinya universitas umum atau fakultas vokasi pada universitas umum juga akan bisa melakukannya untuk memberi penghargaan mereka yang memiliki keahlian," katanya.

Namun, politeknik atau universitas yang melakukan KKNI itu perlu mengajukan izin ke Kemenristekdikti untuk dicek akreditasinya, asesor yang dimiliki untuk "recognize", dam perangkat pengetahuan untuk program studi yang ada.

Menanggapi hal itu, Rektor Unusa Prof Achmad Jazidie mengatakan Unusa sengaja mengundang pakar KKNI untuk hadir dan menyosialisasikan program KKNI, karena Unusa akan mempersiapkan tim khusus agar KKNI bisa berjalan.

"Tidak menunggu lama, kami sesegera mungkin menyusun tim KKNI, lalu mengajukan izin, karena program ini luar biasa membantu anak-anak bangsa," katanya dalam acara yang juga dihadiri pimpinan universitas lain, seperti Unsuri, Unhala, UNU Sidoarjo, dan sebagainya. 

Pewarta: Edy M Ya'kub
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015