Jakarta (ANTARA News) -Sejumlah perusahaan sawit yang menandatangani kesepakatan Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) disinyalir akan keluar dari manajemen IPOP.

Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir di Jakarta, Kamis menyatakan, perusahaan besar tersebut merasa terpaksa menandatangani kesepakatan tersebut untuk mengamankan pasarnya.

"Saya dapat informasi, kalau tidak salah, ada dua yang akan menarik diri (keluar) dari IPOP," katanya.

Pada September 2014 terdapat lima perusahaan besar sawit Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Golden Agri Resources, Musim Mas, dan Asian Agri menandatangani kesepakatan IPOP.

Penandatanganan deklarasi di acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB untuk perubahan iklim yang berlangsung di New York, Amerika Serikat itu disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Beberapa kriteria ditetapkan dalam IPOP yakni melarang ekspansi kebun sawit atau "no deforestasi", melarang kebun sawit di lahan gambut atau no peatland, melarang kebun sawit gunakan lahan karbon tinggi atau no high carbon stock (HCS), melarang tampung tandan buah segar dari kebun sawit hasil deforestasi, lahan gambut, dan HCS (traceability).

Dengan kesepakatan tersebut maka kelima perusahaan besar itu, menolak untuk melakukan pembelian CPO dari perusahaan yang dinilai melanggar aturan IPOP yang dampaknya hasil panen petani pun tidak tertampung.

Ini akan membuat petani dan perusahaan sawit kecil merugi, bahkan gulung tikar lantaran produknya tak ada yang membeli. Apalagi, lima perusahaan itu menampung 80-85 persen dari total TBS dan CPO Indonesia, termasuk TBS dari 4,5 juta sawit petani.

Terkait hal itu, Dirjen Perkebunan menyatakan, pihaknya telah mengirimkan surat kepada manajeman IPOP Indonesia dan "the big five company" penandatangan IPOP agar menunda pelaksanaan IPOP yang berlaku di Indonesia sejak awal 2015.

Langkah tersebut dilakukan demi menegakkan kedaulatan negara serta tidak terpasung kemauan Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) dalam bisnis kelapa sawit. Pasalnya, konsekuensi atas perjanjian yang diteken September 2014, mereka tak bisa membeli TBS serta CPO yang tak ramah lingkungan, sebagaimana syarat IPOP.

Menyinggung hingga kini kelima perusahaan besar tersebut tetap menolak membeli CPO dari perusahaan yang dinilai melanggar aturan IPOP, Gamal menyatakan, pihaknya siap melakukan pengecekan dan memanggil mereka.

"Nanti kita cek. Karena saya sudah surati mereka agar menunda IPOP. Nanti saya panggil mereka," katanya.

Sebelumnya Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan, pihaknya teleh memperingatkan manajemen IPOP dan lima perusahaan besar (the big five company) yang menandatangani kesepakatan IPOP agar mematuhi surat resmi yang dikeluarkan Direktur Jenderal Perkebunan.

Menurut dia, tekad pemerintah adalah memberikan perlindungan kepada petani, sehingga dengan demikian diharapkan kesejahteraan petani bisa meningkat, namun, adanya IPOP di Indonesia ini justru bertentangan dengan upaya Kementan dalam rangka mendorong kesejahteraan petani.

"CPO yang diolah perusahaan menengah dan kecil tersebut mayoritas menyerap TBS dari petani. Kita harus memperhatikan petani kecil dan kesejahteraannya. Oleh karena itu, nanti kita cek (di lapangan terhadap perusahaan yang masih menolak TBS petani)," kata Amran.

Mentan menyebutkan, soal standarisasi perkebunan kelapa sawit harus mengacu kepada Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), system standarisasi yang dibuat Pemerintah Indonesia, apalagi, standarisasi ISPO ini sifatnya wajib bagi semua perusahaan sawit di Indonesia.

Pewarta: Subagyo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015