Jakarta (ANTARA News) - Plan International Indonesia mendorong agar pendidikan kebencanaan diajarkan di setiap sekolah dasar di seluruh Indonesia.

"Baru beberapa daerah yang memasukkan pendidikan kebencanaan ke dalam kurikulum karena dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sifatnya baru anjuran. Sebaiknya merata di seluruh Indonesia," kata Peneliti Plan International Indonesia Robert Sulistyo, di Jakarta, Senin.

Menurut Robert, pendidikan kebencanaan lebih baik diajarkan sejak dini pada usia siswa kelas 3-5 sekolah dasar. Ia menambahkan, dalam implementasi pendidikan kebencanaan harus dilihat kebutuhan sesuai sejarah bencana di daerah masing-masing.

"Dilihat kebutuhannya terkait rawan bencana di sana atau ada di wilayah mana. Pengalaman negara lain yang sudah sedemikian intensif seperti Jepang, anak-anak sekolah dan gedung perkantoran ada dua kali simulasi. Semakin sering berlatih kalau ada kondisi darurat atau gempa, mau tidak mau membiasakan orang sehingga kemungkinan orang panik bisa direduksi," jelas Robert.

"Misal di daerah potensi terdampak asap kebakaran hutan, sangat perlu dilakukan pendidikan kebencanaan karena merupakan investasi yang harus didorong pada pra bencana," tambahnya.

Hampir separuh pelajar sekolah dasar di Jakarta tidak mengetahui potensi bencana di sekolah mereka. Sebagian besar dari mereka juga tidak mengetahui lokasi aman untuk berlindung jika terjadi bencana berdasarkan hasil penelitian Plan International Indonesia tentang Kerentanan dan Risiko Bencana Tingkat Sekolah Dasar di Jakarta.

"Sebenarnya perhatian terhadap pengurangan risiko bencana (PRB) sudah cukup banyak tetapi penerapan sampai tingkat sekolah masih kurang. Di DKI Jakarta saja temuannya seperti itu, bagaimana di daerah lain, artinya masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan," tutur Robert.

Dalam penelitian yang dilakukan pada November 2015 itu, sebanyak 2.160 pelajar dan 720 guru dari 360 sekolah di lima wilayah Jakarta menjadi responden. Sebanyak 360 sekolah itu dipilih secara acak dari 3.596 total jumlah SD/Madrasah Ibtidaiyah (MI) di DKI Jakarta.

Menurut penelitian tersebut, 47,5 persen responden pelajar SD tidak mengetahui potensi bencana di sekolah mereka. Sebanyak 39 persen pelajar menjawab bahwa banjir menjadi potensi benca terbesar yang mungkin terjadi di sekolah. Sedangkan yang menjawab gempa bumi 5,9 persen dan kebakaran 1,6 persen. Sementara itu, 74 persen responden juga tidak tahu letak lokasi aman di sekolah jika terjadi bencana.

"Tingginya prosentase responden yang menyatakan bahwa lokasi aman di sekolah mereka belum diidentifikasi. Tidaklah mengherankan mengingat sekolah mereka belum tersentuh upaya peningkatan kapasitas untuk mewujudkan sekolah aman," jelas Robert.

Pada penelitian lain yang dilakukan Macquarie University di Australia, bekerja sama dengan Risk Frontiers dan Bushfire and Natural Hazards Cooperative Research Centre, diketahui bahwa 71 persen anak-anak merasa tahu cara menyelamatkan aman dari bahaya bencana di sekolah. Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut hanya empat persen dari anak-anak tersebut yang mendapatkan nilai tinggi mengenai pengetahuan kebencanaan.

Dari hasil itu, peneliti Macquarie University Avianto Amri mengatakan bahwa pengetahuan anak-anak mengenai pengurangan risiko bencana (PRB) masih sangat rendah.

"Temuan ini mengindikasikan perlunya perubahan strategi dan pendekatan baru untuk meningkatkan implementasi pendidikan kebencanaan di Indonesia," kata Avianto.

Ia pun mendorong mengintegrasikan komponen kebencanaan ke dalam sistem pengawasan sekolah serta pendidikan kebencanaan dijadikan materi di tingkat pendidikan tinggi untuk guru sebagai bagian dari pengembangan profesional guru lewat pelatihan atau alternatif lain secara online (e-learning).

Pewarta: Monalisa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015