Jakarta (ANTARA News) - Kalangan senator di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas kasus katering jemaah haji Indonesia 2006 atau 1427 Hijriyah. Hal tersebut merupakan kesimpulan Tim Investigasi Haji DPD yang disampaikan ketuanya, Nuzran Joher, didampingi Wakil Ketua DPD, La Ode Ida, dan sejumlah senator DPD di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Senin. Selain mendesak KPK turun tangan, DPD juga mengusulkan, agar dilakukan revisi terhadap amandemen Undang-Undang Nomor 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji melalui upaya usul inisiatif DPR. Ia mengemukakan pula, kasus katering haji pada 2006 selayaknya dijadikan acuan dan pertimbangan bagi DPR RI dalam merevisi UU tersebut. Wakil Ketua Panitia Ad Hoc (PA) III DPD, Faisal Mahmud, menyatakan bahwa untuk masa mendatang perlu dilakukan pemisahan yang tegas antara regulator dan operator tentang penyelenggaraan haji. "Bukan swastanisasi haji, tetapi pemisahan yang proporsional," katanya. Salah satu persoalan yang perlu mendapat perhatian serius, menurut dia, adalah membangun pemondokan haji yang terpusat pada satu wilayah atau "kawasan terpadu haji Indonesia". Hal itu, dinilainya, dapat memudahkan pelayanan bagi jemaah haji, sehingga citra Indonesia semakin baik baik di mata masyarakat dunia. Dalam kaitan itulah, DPD merekomendsikan, agar dihindari manipulasi yang dapat terjadi setiap tahun, maka sebaiknya dilakukan sistem jangka panjang. Selama ini yang diundi dengan sistem qur`ah adalah maktab dan nomor rumah. "Semestinya, sejak di Tanah Air setiap jemaah sudah mendapatkan nomor kamar dengan memanfaatkan informasi teknologi," katanya. Hal ini penting mengingat sistem proporsional yang diberlakukan mulai tahun 2006 telah menimbulkan masalah dan polemik bagi jemaah haji, sehingga menurut dia, perlu ditinjau ulang. Hasil investigasi DPD juga mengindikasikan kegagalan penyediaan katering dalam melayani jemaah haji Indonesia di Armina. Hal itu, dikemukakannya, merupakan musibah yang disebabkan kesalahan manusia (human error), yang tidak bisa diabaikan. "Error sudah dimulai dari kebijakan organisasi yang menempatkan seorang pejabat eselon III langsung di bawah menteri, setidaknya dalam implementasi operasi yang nyata-nyata mengabaikan peran Kepala Perwakilan RI di Arab Saudi," katanya. Kesalahan ini, menurut DPD, harus ditindaklanjuti dengan tindakan administratif sesuai ketentuan yang berlaku. Kegagalan menyediakan katering untuk jemaah haji juga merupakan kesalahan lembaga (institutional error), yaitu Ana for Development Est Catering yang telah menandatangani kontrak pelayanan, dan bahkan telah menerima pembayaran uang muka senilai 70%. Dalam kaitan itulah, Pemerintah harus mengajukan tuntutan hukum, bukan hanya sekadar pengembalian uang muka yang dapat diperhitungkan besarannya, tetapi akibat atau kerugian lain yang sulit diperhitungkan oleh jemaah haji. Mengenai transportasi udara, DPD merekomendasikan, agar dilakukan penataan ulang dan perlu perhatian Pemerintah dalam memberi pelayanan terhadap calon haji. Alternatif yang ditawarkan adalah memberi kemudahan trasportasi lokal dengan harga terjangkau dan rasional. Selain itu, DPD merkomendasikan, untuk meningkatkan kualitas pelayanan penerbangan dan persaingan harga tiket pesawat, maka perlu dilakukan tender secara terbuka bagi maskapai lain, dan tidak hanya untuk Garuda Indonesia (GIA) dan Saudi Air (SV) saja (duopoli), sehingga harga tiket pesawat bagi jemaah haji akan dapat semakin murah dan jaminan pelayanan juga akan semakin baik. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007