Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Evita Nursanty menilai pemberian bebas visa kunjungan kepada banyak negara menunjukkan langkah panik pemerintah demi target wisata.

Ia meminta pemerintah melakukan evaluasi dengan mempertimbangkan aspek politik, pertahanan, budaya dan ekonomi. Termasuk dengan cermat memerhatikan dampaknya bagi kejahatan transnasional seperti perdagangan manusia, narkoba dan terorisme.

Hal itu disampaikan anggota tetap Inter-Parliamentary Union (IPU) Standing Committee on United Nations Affairs ini, di Jakarta, Rabu, menyusul rencana pemerintah untuk memperluas negara penerima fasilitas bebas visa menjadi 174 negara.

"Ini bentuk kepanikan Menteri Pariwisata saja untuk kejar target 20 juta wisatawan, padahal dari pengalaman Indonesia selama ini, kedatangan wisman itu tidak terlalu dipengaruhi oleh bebas visa tapi ada something wrong, termasuk bagaimana strategi marketing kita, baik itu promosi dan branding," sambung Evita yang juga Wakil Ketua Umum Indonesia Congress and Convention Association (Incca).

Ia menconotohkan, tahun 2000 jumlah wisatawan ke Indonesia itu sebanyak 5 juta, lalu 2008 hanya naik menjadi 6,4 juta, dan 2014 lalu menjadi 9,4 juta. Dulu tahun 1983 melalui Kepres No15 Tahun 1983 tentang Kebijaksanaan Pengembangan Kepariwisataan juga telah ditempuh untuk memberikan bebas visa bagi wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, namun kunjungan wisatawan tidak terlalu naik signifikan yakni dari 638.901 orang (1983) menjadi sekitar 683.000 (1984).

Begitu juga jika dilihat dari perkembangan semester terakhir 2015 ini, atau setelah kebijakan bebas visa itu dilakukan melalui Perpres No 69 Tahun 2015, buktinya tidak juga punya daya ungkit besar, sebab hingga 2015 kemungkinan jumlah kunjungan wisman hanya sekitar 10 juta tidak terlalu mengejutkan dibandingkan tahun 2014 yang jumlahnya 9,4 juta.

Evita menyatakan keheranannya pemilihan negara bebas visa juga sangat tidak cermat, mengingatkan bahwa selama ini pasar wisata Indonesia itu sudah terpola yakni dari ASEAN, Asia, Australia, Eropa,  dan Amerika.

Ia juga megkritik pemberian waktu kunjungan pukul rata 30 hari. Hal itu berdampak pada makin banyaknya kasus cyber crime dan narkoba di Indonesia tahun 2015 ini dengan melibatkan banyak orang asing. "Kalau kita nilai warga negara itu banyak terlibat kriminal disini kita bisa juga mempersingkat waktu kunjungan hanya 14 hari," katanya.

Evita meminta pemerintah untuk memberikan keterangan yang clear mengenai berapa sebenarnya jumlah negara yang akan diberikan fasilitas bebas visa ke depan. Sebab apa yang dijelaskan dalam jumpa pers maupun di dalam perpres sebelumnya berbeda-beda. Perpres No 69 Tahun 2015 memberikan bebas visa untuk 45 negara, kemudian Perpres No 104 Tahun 2015 diubah menjadi 75 negara.  Lalu katanya berubah lagi menjadi 174 negara.

"Jumlah negara itu membingungkan. Coba dijelaskan dengan baik sehingga publik clear. Terus terang jumlah 174 itu memang sangat banyak dan kita menjadi terlalu terbuka, tak lagi punya filter awal. Thailand saja yang bergantung pada pariwisata hanya memberikan 57 negara, dan 19 negara masih visa on arrival," demikian Evita Nursanty.

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015