Kasus Din Minimi menjadi pintu masuk yang bagus."
Jakarta (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang mempertimbangkan memberikan amnesti untuk Nurdin Ismail alias Din Minimi dan kelompok bersenjatanya di Aceh Timur, yang 28 Desember 2015 menyerahkan diri setelah berdialog dengan Kepala Badan Intelijen Negara Letjen TNI (Purn) Sutiyoso.

Sesuai Undang-Undang Dasar 1945, Presiden selaku Kepala Negara berhak memberikan amnesti dan pemberian amnesti itu harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi menyebutkan Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM).

Amnesti merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut.

Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut.

Presiden Jokowi menyatakan pemerintah akan memberikan amnesti untuk kelompok Din Minimi setelah melalui proses yang ditentukan.

"Nanti akan kita berikan tapi ada prosesnya," kata Presiden Jokowi dalam lawatan akhir tahun 2015, ketika meninjau Pasar Lokal Keyabi di Kabupaten Nduga, Papua, Kamis, 31 Desember 2015.

Presiden Jokowi menyebutkan, permintaan amnesti dari kelompok di Aceh itu sudah lama berjalan.

"Memang sudah agak lama, kita bertemu, bicara, meyakinkan, kita mengajak mereka untuk ikut berperan dalam pembangunan. Konsentrasi kita ada di situ. Masak kita bertahun-tahun bertarung terus," kata Presiden.

Presiden menyebutkan, sudah ada beberapa kali pembicaraan terkait pengajuan amnesti itu sehingga kelompok itu bersedia menyerahkan diri.

Ketika ditanya apakah akan ada proses hukum atau langsung pemberian amnesti, Presiden mengatakan, akan dilihat dulu.

Mengenai kemungkinan adanya kelompok lain yang meminta amnesti, Presiden mengatakan ada kalkulasinya.

"Semua akan kita proses dengan pendekatan lunak. Kalau sulit, akan ditindak tegas. Semua harus matang dulu baru diputuskan," katanya.

Pendekatan dialogis

Pada 28 Desember 2015, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso mendatangi lokasi persembunyian Din Minimi dan anggotanya di pedalaman Aceh Timur. Proses penjemputan Din Minimi beserta anggotanya itu, mengejutkan banyak pihak. Proses yang berlangsung sunyi senyap itu, hanya diketahui secara terbatas.

Keesokan harinya, Gubernur DKI Jakarta 1997-2007 itu menggelar jumpa pers di Hotel Lido Graha, Lhokseumawe, Aceh.

Banyak fakta dan data yang terungkap seputar kisah perjalanan pejabat negara tersebut dalam menjemput kelompok Din Minimi di pedalaman Aceh Timur hingga penyerahan senjata api yang mereka pegang selama ini.

Kepala BIN juga mengungkapkan keinginan Din Minimi ,antara lain memohon amnesti dari Presiden Jokowi untuk seluruh kelompoknya, sebanyak 120 orang yang ada di lapangan dan 30 orang yang sudah dipenjara.

Selain itu, mereka meminta program reintegrasi yang sesuai dengan nota kesepahaman (MoU) Helsinki untuk dilanjutkan, meminta anak-anak yatim dan janda akibat konflik di Provinsi Aceh untuk diperhatikan secara baik, jangan sampai kehidupannya menjadi terkatung-katung dan diabaikan.

Mereka juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun ke Aceh karena mereka menilai ada kejanggalan dalam pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan nilainya pun sangat tinggi.

"Bahkan, dalam Pilkada tahun 2017 nanti, mereka meminta harus ada peninjau independen. Mengapa hal itu harus ada, karena tidak mau ada pihak-pihak tertentu yang melakukan intervensi," tutur Sutiyoso.

Pada penghujung tahun 2014, kelompok Din Minimi mulai santer dibicarakan media karena menampilkan diri bersama kelompoknya dengan bersenjata. Polisi menjadikan kelompok Din Minimi sebagai target operasi karena dianggap telah melakukan serangkaian aksi kriminal di Aceh. Namun, Din Minimi membantah melakukannya.

Tujuannya mengangkat senjata semata-mata untuk menuntut keadilan dari Pemerintah Aceh yang dianggap telah melupakan sisa-sisa kepedihan akibat masa konflik. Tetap saja, kelompok ini diburu oleh pihak kepolisian.

Bahkan, sempat terjadi beberapa kali rentetan letusan senjata di berbagai tempat antara aparat penegak hukum dengan kelompok Din Minimi. Korban pun berjatuhan, beberapa anggota Din Minimi pun tewas ditembak oleh polisi.

Namun, selama perburuan tersebut, tetap saja pimpinan kelompok Din Minimi tidak berhasil ditemukan oleh aparat polisi. Bahkan, aparat kepolisian semakin mengintesifkan pencarian terhadap pimpinan kelompok tersebut.

Kelompok Din Minimi juga kerap berpindah-pindah tempat di pedalaman Aceh Timur dan Aceh Utara, sehingga menyulitkan pihak kepolisian dalam mengejar kelompok tersebut, hingga akhirnya menyerahkan diri.

Drama penjemputan Din Minimi, menyisakan kisah menarik, karena keterlibatan langsung Kepala BIN yang turun tangan untuk menjemput Din Minimi bersama dengan kelompok dipersembunyiannya.

Bahkan, Sutiyoso membawanya ke rumah orang tua Din Minimi di Desa Ladang Baro, Kecamatan Julok, Aceh Timur.

Kepala BIN itu menjelaskan proses penjemputan Din Minimi bersama kelompoknya itu berlangsung secara sangat mulus dan aman, serta sangat preventif. Bahkan, suasananya berlangsung dengan penuh kekeluargaan.

Sutiyoso mengakui, sebelum melakukan pertemuan dengan Din Minimi, dirinya sudah menjalin komunikasi lebih kurang dua bulan lalu. Saat penjemputan Din Minimi bersama kelompoknya tersebut, dirinya mengaku semalaman berbicara dengan Din Minimi, termasuk mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Di mata saya, kelompok bersenjata Din Minimi tidak menuntut untuk pemisahan diri dari NKRI, tapi mereka kecewa atas sikap pemerintahan di Aceh yang ada sekarang," ujar Sutiyoso.

Kelompok tersebut sangat tidak puas atas kinerja mantan elit-elit Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sekarang mendapatkan kesempatan di pemerintahan dan mereka merasa telah diterlantarkan sehingga terjadilah pergolakan.

Anggota Komisi I DPR yang membidangi Luar Negeri dan Hankam, Ahmad Zainuddin, memuji langkah persuasif dari Sutiyoso sehingga Din Minimi dan kelompoknya menyerahkan diri. Ia juga menilai wajar permintaan Din Minimi tersebut.

Tidak ada yang bersifat disintegratif atau bertentangan dengan prinsip NKRI.

"Jadi, sudah selayaknya pemerintah dan DPR menindaklanjuti permintaan ini. Tidak ada yang berat karena Din Minimi warga negara Indonesia juga, perlu diperhatikan," kata politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Pengamat keamanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramowardhani menyatakan, pendekatan dialogis yang dilakukan Kepala BIN Sutiyoso mampu menyadarkan kelompok pemberontak bersenjata di Aceh pimpinan Din Minimi.

"Saya rasa pendekatan represif untuk penyelesaian persoalan yang terjadi selama ini tidak selalu terbukti dengan menurunnya kekerasan," katanya.

Pendekatan dialogis yang dilakukan Sutiyoso itu menjadi antitesis dari pendekatan represif yang dilakukan aparat keamanan terhadap kelompok-kelompok pengacau keamanan di Tanah Air.

Mantan Staf Khusus di Sekretariat Kabinet itu mengatakan, pendekatan dialogis sejalan dengan imbauan Presiden Jokowi untuk selalu mengedepankan proses dialog dalam menghadapi berbagai persoalan. Penanganan kasus Din Minimi adalah salah satu contoh kelebihan dan keberhasilan dari pendekatan dialogis.

Metode dialogis perlu ditularkan ke daerah konflik lainnya meskipun proses hukum yang adil juga menjadi bagian dari semangat dialog itu jika ada unsur pidananya. Dengan demikian, bangsa Indonesia akan terampil dalam mendialogkan problem-problem yang sulit untuk didamaikan selama ini.

"Kasus Din Minimi menjadi pintu masuk yang bagus," katanya.

Tentu saja "pintu masuk" yang bagus pula dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang melibatkan kelompok bersenjata yang ada di daerah lain, seperti di Poso, Sulawesi Tengah, dan Papua.

Oleh Budi Setiawanto
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016