Jakarta (ANTARA News) - Syahdan pada tahun 1998, Bioskop Podium mulai kehilangan pangsa pasarnya, Johan (Ronny P. Tjandra) sang pemilik memutar otak dan memutuskan untuk menayangkan film berdasar "kisah nyata" pembunuhan oleh anak berusia 12 tahun terhadap kedua orang tuanya yang berjudul "Bocah" pada jam tayang tengah malam demi menarik kembali penonton.

Selepas salah seorang penjaga loket merangkap petugas kebersihan, Lusi (Gesata Stella), diberi izin untuk pulang lebih awal karena merasa kurang sehat tentunya setelah terlebih dahulu diceramahi oleh Johan dan diwanti-wanti agar berwaspada karena di jalanan tengah marak kasus penculikan.

Naya (Acha Septriasa) lagi-lagi harus pulang lebih larut dan membiarkan putrinya ditemani tetangganya, sementara ruang lobi bioskop tak kunjung ramai.

Sesaat sebelum Naya dan Juna (Gandhi Fernando) menutup pintu gerbang depan bioskop, di tengah hujan yang cukup lebat mengguyur pelataran sebuah mobil berhenti dan menepi sembari dari dalam terdengar suara kecemasan seorang lelaki tua yang tengah berbicara dalam sambungan telepon genggam.

Selepas menyelesaikan pembicaraan, Seno (Arthur Tobing) turun dari mobilnya, menggunakan tasnya sebagai penghalang air hujan mengenai kepalanya dan memasuki ruang lobi bioskop.

Setelah Seno duduk, tak lama berselang tiba-tiba saja datang sepasang laki-laki dan perempuan, Ikhsan (Boy Harsya) dan Sarah (Ratu Felisha), memasuki lobi bioskop dengan keadaan tak basah sedikitpun padahal sesaat yang lalu Seno harus merelakan tasnya berfungsi sebagai payung.

Sejenak kemudian datang pula Guntur (Ade Firman Hakim), yang juga tak terlihat kebasahan dan lantas mulai menggoda-goda Sarah sementara Ikhsan pergi ke kamar kecil dan tak lama berselang kedua pemuda itu terlibat adu mulut hingga harus dipisahkan oleh Naya, Juna dan Johan.

Empat tiket telah terjual, namun lagi-lagi sesaat sebelum Naya menutup sesuatu, kali ini tirai loket pemesanan karcis, ada pelanggan datang. Hanya saja pembeli tiket kali ini diliputi aura misterius (Ganindra Bimo), mengenakan baju bertudung kepala dan tak menjawab saat ditanya ingin duduk di bangku nomor berapa.

Para penonton mulai dipersilakan memasuki ruang teater, petugas keamanan bioskop Allan (Daniel Topan) mengunci pintu gerbang depan, sementara Johan memerintahkan Naya dan Juna agar mengarahkan para pelanggan keluar dari pintu belakang bila mana film sudah rampung diputar.

Saat film mulai diputar, di antara barisan-barisan bangku penonton hanya terlihat Ikhsan dan Sarah, Seno serta pria bertudung misterius, sedangkan Guntur tak terlihat.

Maka layar memperlihatkan adegan pembuka Bocah, saat Bagas kecil (Rayhand Khan) si bocah pembunuh berdarah dingin tengah berada di ruang makan bersama keluarganya.

Sementara layar bioskop memutar adegan-adegan Bocah, pria bertudung misterius mulai merangsek mendekati Seno, maka dimulailah pertaruhan hidup dan mati para pegawai Bioskop Podium juga para penonton jam tengah malam yang terancam buruan pria bertudung misterius nan haus darah.

Adakah yang selamat dari seluruh tokoh-tokoh yang terjebak di dalam Bioskop Podium itu? Saksikan sendiri kelanjutan ceritanya dengan menghadiri pemutaran-pemutaran "Midnight Show" yang mulai tayang di bioskop-bioskop di kota anda sejak 14 Januari 2016 nanti.

Genre tidak biasa
"Midnight Show" merupakan film produksi Renee Pictures, yang salah satu produsernya, Gandhi Fernando, ikut ambil bagian di dalam film tersebut sebagai salah satu aktor dengan porsi yang cukup panjang.

Film berdurasi 97 menit itu mengambil genre horor jagal, atau horor yang tidak mengandalkan ketakutan yang ditimbulkan dari hal-hal gaib di luar kekuatan manusia.

Sutradara muda Ginanti Rona Tembang Asri dipercaya Gandhi untuk menggarap ide cerita yang ia miliki tentang kisah pembunuhan sadis di sebuah gedung bioskop dan naskahnya ditulis oleh Hussein M. Atmodjo.

Ini menjadi film layar lebar kedua yang diarahkan Gita, panggilan akrab sang sutradara, yang memiliki deretan pengalaman sebagai asisten sutradara pertama di film Rumah Dara (2009), The Raid (2012) serta segmen Safe Haven dalam omnibus film horor Amerika Serikat V/H/S/2 (2013).

Genre horor jagal atau di Hollywood dikena sebagai slasher memang tak begitu banyak beredar di kalangan sineas lokal, tidak semenjamur horor-horor murahan yang hanya menjual folklore atau cerita hantu yang beredar di masyarakat dibubuhi bumbu tampilan seronok para aktrisnya -itupun kalau pantas disebut aktris ketimbang bintang dadakan-.

Film-film bergenre horor jagal lebih menjual adegan-adegan bersimbah darah, mempertontonkan secara vulgar langkah demi langkah seorang tokoh -tak peduli antagonis atau protagonis- melakukan pembunuhan terhadap lawan mainnya.

Beberapa contoh film horor jagal yang beredar di Indonesia antara lain adalah Rumah Dara dan Killers, tempat Gita menimba ilmu sebagai astrada pertama duet sutradara Mo Brothers (Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel).

Selain dua film yang menjadi tempat Gita menimba ilmu, contoh film horor jagal lokal lainnya adalah Modus Anomali (2012) garapan sutradara Joko Anwar.

Selain itu, tempat lain Gita menimba ilmu, The Raid garapan sutradara Gareth Evans juga bukan film yang malu-malu menampilkan adegan pertarungan bersimbah darah. Maka tak salah kiranya jika Gita sebelum menggarap "Midnight Show" memiliki obsesi untuk membuat film horor jagal.

Diakui Gita, genre horor jagal atau di Hollywood dikenal sebagai slasher, menjadi genre film terfavoritnya saat ini. Maka lewat "Midnight Show", Gandhi memberi kesempatan bukan hanya dirinya untuk mewujudkan idenya tetapi juga angan-angan yang terpendam di diri Gita.

"Midnight Show" sendiri harus bolak balik sebanyak tiga kali sebelum mendapat izin tayang dari Lembaga Sensor Film dengan rating untuk penonton berusia 17 tahun ke atas, serta hampir empat menit adegan harus dibuang demi lolos sensor.

Mujurnya, Renee Pictures mengunggah tayangan video dari adegan "Midnight Show" yang terkena sensor berdurasi 1 menit 10 detik melalui akun Youtube mereka dengan video berjudul "Cuplikan di Sensor film 'Midnight Show'".

"Memang banyak adegan kekerasannya, tetapi saya ingin mengatakan bahwa terkadang kekerasan itu dibutuhkan untuk bertahan dalam situasi-situasi darurat sebagaimana digambarkan di 'Midnight Show'. Saya kembalikan lagi kepada para penonton untuk menilai seperti apa itu kekerasan," kata Gita.

"Midnight Show" juga menjadi film dengan genre horor pertama yang dibintangi oleh Acha, aktris yang lebih identik dengan film-film bergenre drama, komedi romantis atau religi itu.

Diakui Acha rekam jejak pengalaman Gita yang terlibat dalam film-film yang dinilainya cukup berkelas menjadi salah satu alasan mengapa ia tertarik dan akhirnya setuju untuk ambil bagian dalam "Midnight Show".

"Waktu melihat CV sutradaranya, saya langsung berpikir akan sangat menyesal kalau tidak ambil bagian di film ini," kata Acha.

Selain rekam jejak Gita, pendekatan yang dilakukan Gandhi juga cukup sukses karena menawarkan jenis film horor yang berbeda dari yang biasa ditawarkan kepada Acha.

Acha mengaku sudah banyak sekali tawaran untuk membintangi berbagai film horor tapi dia tolak, namun untuk ""Midnight Show" ia merasa harus terlibat.

Bahkan, Acha mengaku dirinya sebetulnya sempat berharap mendapatkan porsi peran yang lebih banyak bersimbah darah ketimbang yang sudah dimainkannya dalam "Midnight Show".

Kejutan nendang, teknik "kentang"
Secara bangunan cerita "Midnight Show" cukup baik, karena laiknya film-film horor jagal, tidak perlu sebuah latar belakang yang terlalu kuat untuk memahami kenapa sang antagonis berusaha membunuh tokoh-tokoh lain di dalam film.

Terlebih lagi film ini menyiapkan twist atau kejutan cerita yang saya rasa akan cukup di luar tebakan sebagian penonton, kecuali yang memang memiliki hobi menonton film thriller atau jagal dan memahami pola-pola umum ceritanya.

Sayangnya, upaya penggarap untuk menyelipkan unsur romantis maupun komedi di dalam cerita ini agar tidak semata-mata menjadi film bunuh-bunuhan semata kurang sukses.

Satu-satunya adegan komedi saat Naya dan Juna memperagakan dialog imajiner antara para penonton di ruang teater saat keduanya berjaga di ruang proyektor film terasa canggung.

Juga terdapat beberapa adegan janggal, seperti bagaimana setelah trio Naya-Juna-Sarah sukses menghindari kejaran si pembunuh dan menguncinya di dalam ruang loket karcis, namun selintas berselang adegan beralih saat ketiganya berada di dalam situasi terjepit dan kembali dalam kejaran si pembunuh, tanpa pernah terlihat bagaimana cara pembunuh keluar dari ruangan terkunci tersebut.

Film horor akan selalu dan selalu identik dengan suasana yang diciptakan teknik pengambilan gambar yang cukup suram dipadu dengan musik latar yang berdaya kejut mengiringi adegan mengejutkan.

Namun "Midnight Show" tidak memiliki musik latar yang spesial, musik latar yang mereka sisipkan sama sekali gagal membangun situasi mencekam yang tengah diceritakan dalam film tersebut.

Sementara dari teknik film horor jagal, ada baiknya tim kreatif belajar lebih banyak tentang bagaimana tampak mata sebuah darah. Kalau mereka kesulitan, saya sarankan sekali waktu menyediakan badan untuk digigit nyamuk dan kemudian tepuk nyamuk yang sudah gemuk dengan darah mereka, lalu rasakan tekstur darah seperti apa.

Sebab, darah yang belepotan dan berhamburan di dalam "Midnight Show" terlihat terlalu cair dan kurang menimbulkan efek mengerikan.

Boleh jadi karena empat menit durasi mereka terpotong lantaran adegan tak lolos sensor LSF, namun "Midnight Show" gagal memanfaatkan latar cerita mereka, bioskop.

Bahkan dengan bangunan cerita dan kejutan yang cukup baik, ternyata tak cukup membuat ANTARA News merasa bulu kuduknya merinding kala berada di dalam sebuah gedung bioskop menyaksikan adegan-adegan bersimbah darah di sebuah gedung bioskop.

Untuk yang satu ini, "Midnight Show" melewatkan kesempatan yang sangat berharga. Setidaknya, seharusnya "Midnight Show" bisa membuat orang sedikit awas dan mencermati orang-orang yang ada di sekitar mereka saat menonton film tersebut di dalam gedung bioskop.

Namun secara umum, film ini layak tonton. Apalagi bagi anda yang kangen menyaksikan adegan-adegan penyiksaan dengan erangan dan aduhan khas lokal yang lebih familiar di telinga kita.

Oh iya, jangan bawa anak anda yang masih terlalu kecil untuk menyaksikan "Midnight Show" karena sadistis.

 

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016